From Condon Hall to Puri Imperium
Tajuk

From Condon Hall to Puri Imperium

Manakala suatu sistem kenegaraan suatu negara terkorupsi oleh rusak atau dirusaknya lembaga-lembaga negara atau praktik kenegaraan, maka harapan terakhir selalu diletakkan pada pundak lembaga judisial yang harus mampu meluruskan dan memperbaiki kerusakan tersebut dengan keputusan-keputusannya yang imparsial. Tetapi manakala lembaga judisial sebagai pertahanan terakhir pun sudah dijebol, maka pada saat itu juga semua komponen masyarakat yang peduli dengan masa depan bangsa, harus berpikir dan berbuat nyata untuk mengulangi reformasi, kalau perlu dari titik nol.

Arief T Surowidjojo
Bacaan 7 Menit
Ilustrasi: BAS
Ilustrasi: BAS

Sederet pohon Cherry di depan Department of Political Science, University of Washington (UW), U-District, Seattle memang sedang tidak berbunga. Tentu saja karena saat ini sudah di ujung bulan Mei. Cherry blossom atau musim berbunga pohon-pohon yang berasal dari Jepang ini memang hanya terjadi di pertengahan Maret sampai awal April setiap tahunnya.

Saya dan Dr. Aria Suyudi, Wakil Ketua STHI Jentera, berfoto di depan kantor sekolah politik ini, tempat di mana Almarhum Prof Daniel S. Lev (Dan Lev) berkantor sampai dengan tahun 2003. Saya teringat masa-masa diskusi seru dengan Dan Lev pada tahun 1983-1984 di ruang kerjanya itu. Dan Lev kerap sekali bertanya, dan saya selalu mencoba menjawab, kadang dengan kesulitan tingkat tinggi, karena begitulah tekniknya sebagai seorang peneliti ulung yang dijalankan Dan Lev untuk menggali informasi, cara berpikir dan wawasan sumber yang ditanya.

Sebagai seorang advokat muda yang baru berpraktik selama 6 tahun waktu itu, saya juga berusaha menggali semua yang ingin saya tahu dari sumber informasi dan pengetahuan tentang (sejarah politik) Indonesia yang luar biasa ini. Terjadilah diskusi seru tentang pemerintahan draconian Suharto dan korban-korbannya. Mulai pembungkaman intelektualitas kampus dan kebebasan media, dunia hukum yang suram di mana ratusan ribu orang dibunuh dan dibuang tanpa proses peradilan.

Dunia advokat yang jatuh bangun mencoba untuk tetap mengawal tegaknya hukum dan keadilan juga tak luput dari bahan diskusi, maupun melalui ruang sidang yang diwarnai protes-protes keras para advokat seperti Yap Thiam Hien, Adnan Buyung Nasution dan kawan-kawan. Ketajaman para advokat menganalisa situasi hukum yang berada di gua gelap, seperti halnya tulisan-tulisan Advokat dan wartawan S. Tasrif dan advokat lain dalam majalah hukum Peradin dan media lain, serta gerakan mahasiswa di kampus dan di jalanan yang sering dibungkam dengan bedil dan penjara, dan juga tak luput masalah korupsi yang merasuk ke tulang sumsum birokrasi, parlemen, peradilan, dunia usaha dan profesi hukum juga menambah draconian era tersebut.

Dan Lev yang mendalami sejarah dan praktek demokrasi Indonesia tahun 1950-an banyak mencerahkan saya dan mahasiswa hukum dan politik UW waktu itu tentang apa dan siapa tokoh politik dan hukum di Indonesia dengan segala aspek the good, the bad & the ugly-nya. Tentu dalam diskusi-diskusi yang sarat dengan bumbu humor dan satir.

Termasuk juga fakta-fakta yang mengejutkan bahwa tahun 1970-an korupsi dan berbagai kecurangan di badan peradilan sudah mulai terjadi. Almarhum Dr Farchan Bulkin, Almarhum Prof Erman Rajagukguk PhD, Almarhum Dr Hero Kuntjoro-Jakti dan saya adalah peserta diskusi tetap di kantor Dan lev, di ruang tamu rumah Dan Lev yang cozy, dan di kamar apartemen kami yang sempit. Terbukti kemudian, kami semua terikat selama puluhan tahun kemudian, terutama dengan Erman dan Farchan, sebagai teman diskusi lanjutan yang lebih intens di Indonesia, yang terus berubah sejak kami semua kembali ke Tanah Air.

Pengalaman dan diskusi di UW dan pojok-pojok kota hujan Seattle membuka wawasan baru bahwa seburuk apapun keadaan politik, hukum dan governance suatu pemerintahan, masih banyak celah bagi concerned citizens untuk melakukan kebaikan untuk publik di berbagai bidang, dan di berbagai komunitas. Farchan dan Eman lebih banyak bergerak di bidang akademis dan kebijakan publik, terutama Erman yang kemudian menjabat sebagai Wakil Sekretaris Kabinet beberapa pemerintahan, dan saya di bidang praktik hukum korporasi dan kemudian atas ajakan Erman, mulai berkecimpung di bidang akademik. Farchan, Dorodjatun Kuntjoro-Jakti, Mochamad Danisworo, Palgunadi Setyawan dan saya kemudian bergabung mempromosikan bagaimana di tengah situasi penuh represi, pemerintah pusat dan pemerintah daerah juga masih bisa menjalankan banyak fungsi public goods yang bermanfaat untuk masyarakat luas. Dorodjatun merupakan teman diskusi Dan Lev di UC Berkeley, dan Danisworo merupakan mahasiswa doktoral di UW yang berada dalam bimbingan Dan Lev. 

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait