From Condon Hall to Puri Imperium
Tajuk

From Condon Hall to Puri Imperium

Manakala suatu sistem kenegaraan suatu negara terkorupsi oleh rusak atau dirusaknya lembaga-lembaga negara atau praktik kenegaraan, maka harapan terakhir selalu diletakkan pada pundak lembaga judisial yang harus mampu meluruskan dan memperbaiki kerusakan tersebut dengan keputusan-keputusannya yang imparsial. Tetapi manakala lembaga judisial sebagai pertahanan terakhir pun sudah dijebol, maka pada saat itu juga semua komponen masyarakat yang peduli dengan masa depan bangsa, harus berpikir dan berbuat nyata untuk mengulangi reformasi, kalau perlu dari titik nol.

Arief T Surowidjojo
Bacaan 7 Menit

Tahun 1998 merupakan lini masa unik yang mengakselerasi semua keinginan untuk melakukan perubahan, ketika Orde Baru tumbang, dan membuka semua kesempatan untuk melakukan perubahan apapun yang pernah dibayangkan para aktivis dalam diskusi-diskusi di periode tahun 80-90an. Dipertemukan dengan anak-anak muda profesional, akademis dan birokrat seperti Ahmad Fikri Assegaf, Hamid Chalid, Chandra Hamzah, Abdul Haris M. Rum, Ibrahim Assegaf, Bivitri Susanti dan Aria Suyudi, dan kemudian diperkuat oleh generasi yang lebih muda seperti Rival Achmad, Binziad Kadafi, Ery Nugroho, Gita Damayana, Erni Setiowati. Inayah Assegaf dan lain-lain, dibentuklah pada tahun 1998 Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), yang kemudian menjadi cikal bakal dari Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera, Daniel S Lev Law Library, Jurnal Hukum Jentera dan lain-lain. Dipertemukan kembali dengan Erry Riyana Hardjapamekas, Kuntoro Mangkusubroto, Kemal Stamboel, Sri Mulyani Indrawati, Sudirman Said, Ahmad Fikri Assegaf, Chandra Hamzah, Hamid Chalid dan lain-lain, dibentuklah Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI) pada tahun yang sama. 

MTI, PSHK dan Jentera menjelma menjadi bagian dari gerakan organisasi masyarakat sipil yang menjadi ujung tombak reformasi untuk masalah-masalah yang terkait dengan legislasi yang pro masyarakat, anti korupsi, reformasi hukum dan birokrasi, serta pembentukan lembaga-lembaga yang diperlukan untuk membangun sistem integritas nasional termasuk Mahkamah Konstitusi dan Komisi Pemberantasan Korupsi. Pada kurun waktu baik sebelum dan sesudahnya, terbentuk juga Yayasan WWF Indonesia yang membangun konsep dan pemikiran baru tentang konservasi lingkungan, dan Transparansi Internasional Indonesia yang berfokus pada tata kelola publik dan dunia usaha dan pemilihan umum, yang memperkaya dan melengkapi gerakan reformasi bagaikan suatu konser untuk memperbaiki Indonesia dari semua jurusan yang mungkin dilakukan. Bahkan percobaan yang sifatnya politis juga dilakukan oleh sebagian orang-orang yang sama, ketika pada tahun 2003 orang-orang yang hampir sama dengan pendiri MTI mendirikan Perhimpunan Membangun Kembali Indonesia (PMKI) yang mengusung Almarhum Nurcholis Madjid (Cak Nur) menjadi calon Presiden RI, yang kemudian gembos karena politik ternyata membutuhkan “gizi”.

Menjadi bagian dari semua proses dan gerakan tersebut, dengan sadar maupun terbawa oleh arus perubahan, merupakan suatu kemewahan yang dinikmati siapapun yang ingin melakukan kontribusi terhadap upaya memperbaiki Indonesia yang sudah dirusak oleh rezim penguasa. Dalam perjalanan reformasi 1998 dan seterusnya, upaya bersama tersebut menghasilkan bangunan baru Indonesia yang disebut sebagai sistem integritas nasional.

Lembaga-lembaga negara lama negara direvitalisasi, lembaga-lembaga baru yang harus ada dalam sistem tersebut dibentuk, antara lain Mahkamah Konstitusi, Komisi Pemberantasan Korupsi, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Komisi Yudisial, Komnas Hak Asasi Manusia, Komnas Perlindungan Saksi dan Korban, Dewan Pers, Komisi Pemilihan Umum, dan organisasi-organisasi masyarakat sipil sebagai the guardianangels yang mengawal marwah proses reformasi dan demokratisasi. Sistem pemilihan orang-orang terbaik untuk mengisi jabatan-jabatan publik dibangun, dengan melibatkan organisasi masyarakat sipil dan tokoh-tokoh berintegritas. Semua proses itu dinikmati betul, sehingga Indonesia menjadi begitu kondang dan diakui oleh dunia sebagai negara dan bangsa yang dengan cepat bangun dari keterpurukan multi dimensi, menjadi salah satu negara terdepan dengan bangunan dan praktik demokrasi yang sejajar dengan negara-negara dan bangsa-bangsa kampiun demokrasi.

Perjalanan reformasi tidak selalu utuh dan lancar. Kepentingan penguasa, politisi dan seringkali pengusaha elit menjadikan bangunan yang utuh menjadi sebagian sempal. Sokoguru bangunan sebagian dibengkokkan. Orang-orang dengan motivasi didikan Orde Baru mengambil-alih dan mengisi banyak bagian dan ruang dalam bangunan negara, termasuk birokrasi, parlemen, penegak hukum dan lembaga judisial lainnya. Korupsi tetap merajalela, sementara lembaga anti rasuah yang sudah hebat dan bermanfaat dilemahkan dan diduduki. Proses legislasi kembali diambil oleh para inisiator berkepentingan, dan kontribusi publik kembali menjadi pemenuhan syarat formal. Reformasi jadi mati angin. Para pengampunya dulu entah meratap di mana. Kesadaran akan mandeknya reformasi sebetulnya telah dirasakan sebelumnya.

MTI pernah membuat suatu program menyaring ribuan orang-orang baik yang diperlukan mengisi jabatan-jabatan publik dan perusahaan milik negara. Proses restrukturisasi perbankan pada kurun waktu 1998-2003 mengharuskan diambil-alihnya perusahaan-perusahaan yang gagal bayar terhadap kewajiban mengembalikan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia. Seharusnya perusahaan-perusahaan tersebut dikendalikan oleh orang-orang baik tersebut. Hanya sebagian kecil yang terisi, sementara sebagian besar harus menggunakan tenaga profesional lama yang pernah terkait dengan pengusaha dan pejabat bermasalah, atau paling tidak pernah berada dalam lingkungan budaya korporasi dan birokrasi yang sangat korup. Bisa dibayangkan bahwa hasilnya tidak bisa maksimal.

Para pendiri PSHK akhirnya menyadari bahwa dalam bidang hukum, hal yang sama terjadi. Upaya organisasi masyarakat sipil termasuk PSHK, Lembaga Kajian dan Advokasi Independensi Peradilan (LeIP), Indonesian Corruption Watch (ICW) serta para aktivis reformasi untuk menjadikan penegak hukum dan peradilan sebagai tumpuan akhir di rangkaian sistem integritas nasional antara melalui pembentukan blueprint pembaruan Mahkamah Agung, governance review Kejaksaan Agung, desakan reformasi Kepolisian dan pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi merupakan upaya-upaya yang mengalami pasang surut yang tidak menjanjikan masa depan proses legislasi dan penegakan hukum yang baik dan konsisten karena derasnya pengaruh dan tekanan politik dari elit penguasa dan kroninya. Para pendiri PSHK menyadari bahwa membangun sumber daya manusia di bidang hukum yang paham prinsip hukum, keadilan, hak azasi manusia, dalam demokrasi konteks masyarakat Indonesia yang berubah adalah hal yang harus dilakukan. Sumber daya manusia tersebut harus mempunyai karakter yang kuat untuk membangun lingkungan yang menjunjung integritas dimanapun mereka berada kelak. Dengan tolak pikir inilah kemudian Jentera dibentuk. Jalur pendidikan hukum yang mengutamakan pembangunan karakter dan sikap kritis yang membangun. 

Kegagalan reformasi mencapai puncaknya, seperti baru-baru ini kita saksikan terjadi sesaat sebelum dan sesudah pemilu 2024 yang lalu. Bangunan reformasi kita tersisa berdiri dengan compang camping. Mahkamah Konsitusi yang semula kita banggakan sebagai lembaga negara bentukan baru yang efektif mengawal konstitusi dan secara terhormat pula, ternyata harus menyerah dengan menyisakan “dissenting opinion” sebagai pelipur lara, tetapi tetap menjadi olok-olok karena keputusan-keputusannya yang mengantarkan kita pada pemilu terburuk dalam sejarah Indonesia setelah era reformasi. Manakala suatu sistem kenegaraan suatu negara terkorupsi oleh rusak atau dirusaknya lembaga-lembaga negara atau praktik kenegaraan, maka harapan terakhir selalu diletakkan pada pundak lembaga judisial yang harus mampu meluruskan dan memperbaiki kerusakan tersebut dengan keputusan-keputusannya yang imparsial. Tetapi manakala lembaga judisial sebagai pertahanan terakhir pun sudah dijebol, maka pada saat itu juga semua komponen masyarakat yang peduli dengan masa depan bangsa, harus berpikir dan berbuat nyata untuk mengulangi reformasi, kalau perlu dari titik nol.

Kembali ke kampus sekolah hukum UW, saat ini bukan lagi di Condon Hall, tetapi di William H. Gates Hall, penghargaan yang diberikan sepantasnya ditujukan kepada gerakan reformasi Indonesia, bukan kepada individu, terasa dingin membekukan. Apa yang sudah diperjuangkan oleh para aktivis selama 26 tahun terakhir terpaksa harus didaur ulang, mungkin tidak seluruhnya, dengan tantangan-tantangan baru, karena kerusakan yang terjadi terbungkus rapi dalam bungkus-bungkus hukum formal yang dulu justru dibangun atas kerja keras para aktivis, baik di dalam maupun di luar sistem pemerintahan. Perjuangan melawan kecurangan dalam bingkai positivisme hukum rasanya tidak lebih mudah dari melawan kecurangan yang dilakukan dalam sistem pemerintahan drakonian. Meninggalkan musim semi saat ini tidak berarti memberikan kehangatan bagi area Puget Sound, karena musim dingin ternyata masih malas bangkit meninggalkan kami, padahal energi kehangatan dibutuhkan untuk menggerakkan mereka, para aktivis yang lebih muda, untuk masuk ke dalam barisan reformasi 2.0.

Seattle, akhir Mei 2024.

Tags:

Berita Terkait