Revisi UU NO. 5 Tahun 1985
Upaya Peningkatan Wibawa
Fokus

Revisi UU NO. 5 Tahun 1985
Upaya Peningkatan Wibawa

Sepuluh tahun sejak diaktifkan pada 14 Januari 1991, Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) atau yang disering disingkat Peratun tetap saja menghadapi persoalan. Khususnya, persoalan yang berkaitan dengan eksekusi putusan Peratun.

Tri/Apr
Bacaan 2 Menit

Benyamin mencontohkan, Bupati mengeluarkan keputusan yang kemudian oleh Peratun dibatalkan, tetapi Bupati tersebut tidak mau melaksanakannya. Apakah nantinya putusan tersebut bisa diperintahkan melalui atasan Bupati, dalam hal ini Gubernur, untuk memerintahkannya. "Sementara berkaitan dengan otonomi daerah, apakah Bupati masih menjadi atasan Gubernur," tanya Benyamin.

Belum lagi dengan adanya otonomi kampus, di mana departemen pendidikan nasional bukan lagi atasan dari rektor sebuah unversitas. Karena itu,  tidak bisa lagi Menteri Pendidikan Nasional memerintahkan atau menintervensi rektor.

Dan contoh yang hangat, tetap tidak diperkenankannya  7 mahasiswa Universitas Indonesia yang diskors untuk mengikuti perkulihan, walaupun keputusan skors tersebut telah d batalkan oleh Peratun Jakarta. Padahal Menteri Pendidikan Nasional telah memerintahkan Rektor UI menghormati putusan Peratun.

Surya Tjadra, wakil direktur bidang umum LBH Jakarta, yang juga kuasa hukum para mahasiswa tersebut mengatakan bahwa perintah untuk tidak mengindahkan putusan Peratun tersebut datangnya dari Fakultas Hukumnya sendiri. "Iini kan tentu memilukan. Masa Fakultas Hukum memberikan advice seperti itu," ujarnya.

Kualifikasi hakim Peratun

Sementara itu, mengenai kualifikasi profesionalitas hakim Peratun yang masih sangat umum, Benyamin Mangkoedilaga mengakuinya. Saat ini, jumlah hakim Peratun masih sangat minim sekali. Bahkan di beberapa daerah, jumlah hakimnya sangat terbatas.

Persoalan ini tidak terlepas dari jarangnya calon-calon hakim yang mau ditempatkan menjadi hakim Peratun. Pasalnya, kebanyakan hakim lebih memilih untuk menjadi hakim-hakim pengadilan umum.

Saat ini, kalau ada anggapan putusan hakim Peratun makin menurun tidak terlepas dari pengetahuaan dan mutu hakim tersebut. Soedarsono yang juga Hakim Tinggi Peratun DKI Jakarta mengakui bahwa kondisi hakim Peratun tidak menguasai secara baik hukum acara maupun materiil dari kasus yang sedang ditanganinya. Hal ini terjadi karena banyak hakim Peratun malas sekali membaca, sehingga para hakim tersebut lebih banyak memutuskan perkara berdasarkan insting.

Tidak heran walaupun sudah 10 tahun usia Peratun, tetap saja Peratun tidak punya "gigi". Karena itu, revisi terhadap UU No. 5 tahun 1985 menjadi penting untuk meningkatkan kewibawaan Peratun terhadap pejabat TUN yang tidak melaksanakan putusan Peratun. Misalnya dengan memberikan sanksi bagi pejabat TUN yang tidak menjalankan putusan Peratun.

Peratun juga masih harus melakukan pembenahan, khususnya peningkatan profesionalitas dan kualitas hakim yang akan memeriksa dan memutus sengketa TUN antara rakyat dengan penguasa. Dengan pendidikan lanjutan bagi hakim Peratun, dapat diharapkan adanya putusan Peratun yang benar-benar berkualitas dengan tetap memperhatikan prinsip-prinsip keadilan. 

 

Tags: