Revisi UU NO. 5 Tahun 1985
Upaya Peningkatan Wibawa
Fokus

Revisi UU NO. 5 Tahun 1985
Upaya Peningkatan Wibawa

Sepuluh tahun sejak diaktifkan pada 14 Januari 1991, Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) atau yang disering disingkat Peratun tetap saja menghadapi persoalan. Khususnya, persoalan yang berkaitan dengan eksekusi putusan Peratun.

Tri/Apr
Bacaan 2 Menit
<font size='1' color='#FF0000'><b>Revisi UU NO. 5 Tahun 1985</b></font><BR>Upaya Peningkatan Wibawa
Hukumonline

Banyak kalangan akademisi maupun praktisi yang berkecipung dalam dunia hukum administrasi dan hukum pemerintahan menyebutkan bahwa masalah pokok Peratun tidak terlepas dari lemahnya UU No. 5 tahun 1985 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.

Pokok permasalahannya meliputi : Pertama,  kesalahan terhadap konsepsi Peratun itu sendiri, yang oleh UU No. 5 tahun 1985 hanya khusus mengenai keputusan tata usaha negara. Sementara Peratun pada umumnya tidak dimasukkan dalam UU ini. Kedua, hukum acara Peratun tidak mencerminkan tujuan dan fungsi Peratun itu sendiri. Dan, ketiga, kualifikasi profesionalitas hakim Peratun masih sangat umum.

Pemecahan terhadap persoalan Peratun tersebut adalah segera melakukan pembaharuan atau revisi terhadap UU No. 5 Tahun 1985. Revisi tesebut berkaitan dengan aspek hukum acara Peratun, sehingga meningkatkan wibawa keputusan Peratun.

Banyak putusan Peratun ternyata tidak mempunyai kekuatan memaksa. Seperti kasus gugatan TUN terhadap 7 mahasiswa Universita Indonesia  yang diskors rektor. Ternyata putusan selanya maupun dalam putusan akhirnya diabaikan Rektor UI untuk tidak dilaksanakan. Ini bukti kelemahan Peratun yang tidak berwibawa di depan pejabat TUN.

Perluasan objek Peratun

Selama ini, objek Peratun hanya dibatasi pada tindakan-tindakan hukum pejabat tata usaha negara, sebagaimana disebutkan pada pasal 1 butir 1 sampai dengan butir 4 UU No. 5 Tahun 1985.

Pasal 1 butir 4 UU No.5 Tahun 1985, menegaskan bahwa sengketa putusan TUN hanyalah sengketa terhadap keputusan yang dikeluarkan badan atau pejabat TUN, baik di pusat maupun di daerah yang bersifat konkret, individual, dan final.

Menurut Paulus E. Lotulung, pakar hukum administrasi yang juga hakim agung pada Mahkamah Agung, obyek Peratun seharusnya tidak hanya dibatasi pada tindakan-tindakan hukum TUN  saja, sebagaimana yang diatur pasal 1 butir 1 sampai 4. Namun, lebih luas yang juga mencangkup tindakan-tindakan hukum publik.

Walaupun begitu, menurut Lotulung, perluasan obyek Peratun  tidak hanya pada tindakan-tindakan hukum TUN. Namun, juga mencakup tindakan-tindakan hukum yang bersifat publik, perlu mendapatkan kejelasan. Apakah tindakan hukum publik tersebut sama dengan tindakan membuat regulasi atau tindakan yang bersifat kebijakan.

Sementara itu, Philipus M. Hadjon, Guru Besar Hukum Universitas Airlangga (Unair), mengemukkan bahwa rumusan pasal 1 telah menimbulkan banyak salah interpretasi yang menyimpang dari hakekat sengketa TUN sebagai sengketa hukum publik.

Salah interpretasi ini, menurut Hadjon, disebakan karena penggunaan istilah TUN yang tidak tepat dan perlu segera diganti. Alasannya, selama ini Peratun pada prakteknya banyak memperluas kasus-kasus sengketa TUN yang sebenarnya berada di luar sengketa hukum publik. Sudah saatnya, istilah dan konsep TUN diubah  menjadi pemerintah dan pemerintahan.

Selain  karena perluasan sengketa TUN,  salah interpretasi sering juga terjadi karena pembatasan diri Peratun pada obyek yang hanya berupa keputusan TUN. Sementara ada aspek hukum lain yang juga seharusnya diperhatikan. Ini banyak terjadi pada kasus-kasus sengketa tanah.

Dalam kasus sengketa tanah, Peratun hanya membatasi diri pada obyek sengketa yang berupa keputusan tata usaha negara mengenai sertifikat hak atas tanah. Sementara sengketa yang berkaitan dengan sertifikat hak atas tanah seringkali berlandaskan sengketa hak tanah yang merupakan perkara perdata.

Penanganan sengketa tanah yang memisahkan sengketa mengenai sertifikat atas tanah dengan hak atas tanahnya, menyebabkan penyelesaian sengketa menjadi tidak tuntas. Dengan sendirinya, sengketa tersebut akhirnya mengabaikan prinsip kepastian hukum dan mengabaikan keadilan yang menyangkut tanah.

Pembenahan hukum acara

Keberadaan Peratun sebagai salah satu kekuasaan peradilan selain Pengadilan Negeri, Pengadilan Agama, dan Pengadilan Militer, merupakan bentuk penjelmaan pengawasan publik terhadap aparatur TUN/Pemerintah. Dan ini penting, untuk melindungi rakyat dari adanya kekuasaan yang otoriter dari pemerintah dan juga sebagai perwujudan demokratisasi.

Oleh karena itu, setelah meneliti hukum acara yang ada dalam UU No. 5 tahun 1985, ternyata banyak sekali kelemahan-kelemahannya, khususnya pasal-pasal yang memberikan perlidungan kepada rakyat. Ini penting, karena sengketa Peratun adalah sengketa antara dua belah pihak yang memiliki kedudukan yang tidak seimbang.

Pasal-pasal tersebut meliputi pasal mengenai kopentensi ralatif (pasal 54 ayat 1), mengenai upaya administrasi (pasal 48), mengenai alat bukti (pasal 100), dan mengenai pelaksanaan putusan pengadilan (pasal 100). Kesemuanya, perlu sekali adanya pembenahan.

Pasal 54 ayat 1 menyebutkan bahwa gugatan sengketa TUN diajukan di wilayah hukum tempat kedudukan tergugat. Pasal ini tentunya tidak memberikan perlindungan kepada rakyat terhadap penggunaan kekuasaan pemerintahan karena gugatan seharusnya diajukan di tempat kedudukan tergugat. Apalagi dikaitkan dengan ketentuan pasal 51 ayat 3.

Di dalam pasal 51 ayat 3 diatur bahwa Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan di tingkat pertama sengketa Tata Usaha Negara terhadap keputusan yang sebelumnya telah diproses di tingkat badan TUN itu sendiri.

Sebuah sengketa TUN baru dapat diajukan ke pengadilan apabila telah ditempuh upaya administrasi yang ada pada institusi TUN tersebut berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku (pasal 48). Sehingga sebagai prinsip dan tujuan dibentuknya Peratun, gugatan diajukan di tempat kediaman penggugat.

Selain itu, sengketa TUN bukanlah sengketa perdata biasa antara penggugat dan tergugat yang diatur dalam HIR, di mana kedudukan penggugat dan tergugat adalah seimbang. Sementara sengketa TUN adalah sengketa antara pihak yang mempunyai kedudukan derajat yang berbeda, antara pengguggat selaku rakyat biasa melawan tergugat yang adalah pejabat atau aparatu TUN. 

Mengenai alat bukti yang diatur dalam pasal 100, khususnya mengenai alat bukti keputusan TUN yang dijadikan objek sengketa, masih sulit mencari alat ukur keabsahan aturan hukum tertulis dan atau asas-asas umum pemerintahan yang baik (AAUPB). Ini penting sekali karena sampai saat ini Indonesia belum memiliki pegangan tertulis tentang AAUPB.

Sementara itu, mengenai pelaksanaan putusan pengadilan diatur dalam Pasal 116 ayat 2 yang memberikan batasan waktu empat bulan bagi pejabat TUN untuk mencabut keputusan TUN yang tidak sah. Apabila telah lewat batas waktu tersebut, maka keputusan tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum.

Persoalan selanjutnya, pengadilan memerintahkan kepada Pejabat TUN yang bersangkutan untuk melaksanakan putusan TUN tersebut. Namun sayangnya, perintah Peratun tidak mempunyai kekuasaan yang memaksa seperti Pengadilan Negeri, Pengadilan Agama, dan Pengadilan Militer.

Misalnya, pada PN untuk kasus pidana mempunyai jaksa selaku eksekutor dari putusan hakim. Sementara untuk kasus perdata, ada juru sita yang akan melaksanakan putusan hakim. Peratun menyerahkan sendiri putusan kepada pejabat TUN untuk melaksanakannya.

Kalau pejabat tersebut tidak mau melaksankan putusannya, pengadilan akan meminta pejabat atasannya untuk memerintahkan pejabat TUN yang menjadi bawahannya untuk menjalankan putusan Peratun.

Kendala desentralisasi

Benyamin Mangkoedilaga, mantan hakim tinggi PT TUN DKI Jakarta yang sekarang menjadi hakim agung, mengakui bahwa pelaksanaan putusan Peratun masih menghadapi masalah. Ini tidak terlepas karena tidak adanya sanksi  bagi pejabat TUN untuk melaksanakan putusan TUN.

Seringkali walaupun putusan Peratun telah lewat empat bulan, sesuai Pasal 116 ayat 2 putusan Peratun tersebut tidak akan berkekuatan hukum tetap. Namun, tetap saja keputusan TUN tersebut diberlakukan. Apalagi dengan adanya desentraralisasi kekuasaan dari pusat ke daerah yang akan menambah kendala melaksanaan putusan Peratun.

Lebih dari itu, Benyamin melihat bahwa sebenarnya hambatan berat dari Peratun adalah berlakunya desentaralisasi dan otonomi daerah. Pasalnya,  banyak kekuasaan yang selama ini ada di pusat akan diserahkan ke daerah. Dan ini tentu malah menambah daftar hambatan dari pelaksanaan putusan Peratun.

Benyamin mencontohkan, Bupati mengeluarkan keputusan yang kemudian oleh Peratun dibatalkan, tetapi Bupati tersebut tidak mau melaksanakannya. Apakah nantinya putusan tersebut bisa diperintahkan melalui atasan Bupati, dalam hal ini Gubernur, untuk memerintahkannya. "Sementara berkaitan dengan otonomi daerah, apakah Bupati masih menjadi atasan Gubernur," tanya Benyamin.

Belum lagi dengan adanya otonomi kampus, di mana departemen pendidikan nasional bukan lagi atasan dari rektor sebuah unversitas. Karena itu,  tidak bisa lagi Menteri Pendidikan Nasional memerintahkan atau menintervensi rektor.

Dan contoh yang hangat, tetap tidak diperkenankannya  7 mahasiswa Universitas Indonesia yang diskors untuk mengikuti perkulihan, walaupun keputusan skors tersebut telah d batalkan oleh Peratun Jakarta. Padahal Menteri Pendidikan Nasional telah memerintahkan Rektor UI menghormati putusan Peratun.

Surya Tjadra, wakil direktur bidang umum LBH Jakarta, yang juga kuasa hukum para mahasiswa tersebut mengatakan bahwa perintah untuk tidak mengindahkan putusan Peratun tersebut datangnya dari Fakultas Hukumnya sendiri. "Iini kan tentu memilukan. Masa Fakultas Hukum memberikan advice seperti itu," ujarnya.

Kualifikasi hakim Peratun

Sementara itu, mengenai kualifikasi profesionalitas hakim Peratun yang masih sangat umum, Benyamin Mangkoedilaga mengakuinya. Saat ini, jumlah hakim Peratun masih sangat minim sekali. Bahkan di beberapa daerah, jumlah hakimnya sangat terbatas.

Persoalan ini tidak terlepas dari jarangnya calon-calon hakim yang mau ditempatkan menjadi hakim Peratun. Pasalnya, kebanyakan hakim lebih memilih untuk menjadi hakim-hakim pengadilan umum.

Saat ini, kalau ada anggapan putusan hakim Peratun makin menurun tidak terlepas dari pengetahuaan dan mutu hakim tersebut. Soedarsono yang juga Hakim Tinggi Peratun DKI Jakarta mengakui bahwa kondisi hakim Peratun tidak menguasai secara baik hukum acara maupun materiil dari kasus yang sedang ditanganinya. Hal ini terjadi karena banyak hakim Peratun malas sekali membaca, sehingga para hakim tersebut lebih banyak memutuskan perkara berdasarkan insting.

Tidak heran walaupun sudah 10 tahun usia Peratun, tetap saja Peratun tidak punya "gigi". Karena itu, revisi terhadap UU No. 5 tahun 1985 menjadi penting untuk meningkatkan kewibawaan Peratun terhadap pejabat TUN yang tidak melaksanakan putusan Peratun. Misalnya dengan memberikan sanksi bagi pejabat TUN yang tidak menjalankan putusan Peratun.

Peratun juga masih harus melakukan pembenahan, khususnya peningkatan profesionalitas dan kualitas hakim yang akan memeriksa dan memutus sengketa TUN antara rakyat dengan penguasa. Dengan pendidikan lanjutan bagi hakim Peratun, dapat diharapkan adanya putusan Peratun yang benar-benar berkualitas dengan tetap memperhatikan prinsip-prinsip keadilan. 

 

Tags: