Rancangan KUHP Nasional
Pembunuh dan Pemerkosa Tidak dapat Dipidana Mati
Fokus

Rancangan KUHP Nasional
Pembunuh dan Pemerkosa Tidak dapat Dipidana Mati

Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) Nasional untuk menggantikan KUHP yang selama ini berlaku sudah disusun oleh pemerintah. Rancangan KUHP Nasional ini tidak menempatkan pidana mati sebagai pidana pokok seperti halnya dalam KUHP saat ini. Bagaimana dengan perkosaan dan pembunuhan yang sangat sering terjadi di Indonesia dan sudah sangat meresahkan masyarakat ini?

zaenal
Bacaan 2 Menit

Penegasan pengaturan mengenai waktu dan tempat terjadinya tindak pidana (tempus dan locus delicti) juga dilakukan di dalam Rancangan KUHP Nasional ini (Pasal 13 dan Pasal 14). Pengaturan ancaman pidana minimum, yang terkesan phobi untuk dilakukan, pun diatur dalam Rancangan KUHP Nasional ini.

Selain itu, ketentuan hukum tidak tertulis yang hidup dan berlaku sebagai hukum di suatu daerah, yang sebelumnya tidak diatur, di dalam Rancangan KUHP Nasional ditempatkan secara terhormat (Pasal 1 ayat (3)). Seseorang dapat dipidana apabila menurut adat setempat ia patut dipidana, walaupun perbuatan yang dilakukannya tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan. Artinya, hukum pidana adat mendapat sandaran hukum yang mantap dalam hukum nasional.

Yang tidak kalah pentingnya, subjek hukum pidana yang selama ini terbatas pada manusia (natural person) diperluas, sehingga mencakup pula badan hukum (juridical person).  Pengaturan badan hukum ini, yang di dalam rancangan disebut dengan "korporasi" dapat ditemui pada ketentuan Pasal 44 sampai Pasal 49. Penjatuhan pidana atas tindak pidana yang dilakukan oleh atau untuk korporasi dapat dilakukan terhadap korporasi dan atau pengurusnya.

Perubahan aturan umum pun menyentuh ancaman pidana denda, yang di dalam Rancangan KUHP Nasional dibagi menjadi enam kategori (Pasal 75 sampai Pasal 78). Perubahan itu termasuk pula jenis pidana dan cara pemidanaan secara khusus terhadap anak.

Pidana mati bukan pidana pokok

Di samping pokok-pokok perubahan aturan umum itu, yang paling mencolok dan mungkin akan banyak menimbulkan polemik adalah tidak ditempatkannya pidana mati sebagai bagian dari pidana pokok (Pasal 60). Pidana pokok di dalam Rancangan KUHP Nasional terdiri atas pidana penjara, pidana tutupan, pidana pengawasan, pidana denda, dan pidana kerja sosial.

Pidana mati yang sebelumnya merupakan pidana pokok (Pasal 10 KUHP), di dalam Rancangan KUHP Nasional hanya ditempatkan sebagai pidana alternatif, pidana yang dijatuhi sebagai upaya terakhir untuk mengayomi masyarakat.

Penjatuhan pidana mati itu pun dapat diberikan secara bersyarat (Pasal 82). Artinya, seseorang dapat dijatuhi pidana mati dengan dapat ditunda pelaksanaannya dengan masa percobaan selama 10 tahun. Setelah melewati masa percobaan tersebut, pidana mati yang telah dijatuhkan dapat diganti menjadi pidana lain apabila orang tersebut menunjukkan sikap dan perbuatan yang terpuji.

Tags: