Rancangan KUHP Nasional memang menjadi bagian dari perjalanan panjang bangsa Indonesia untuk memiliki sebuah kitab undang-undang (UU) nasional yang mengatur hukum pidana materiel. Artinya, penyusunan Rancangan KUHP Nasional itu menjadi bagian yang tak terpisahkan dari upaya pembangunan hukum nasional.
KUHP yang sampai saat ini berlaku tidak lain dan tidak bukan berasal dari Wetboek van Strafrecht voor Indonesie (WvS-Staatblad 1915: 732) yang merupakan produk hukum pemerintahan kolonial Hindia Belanda. Setelah Indonesia merdeka, WvS tersebut masih berlaku berdasarkan Pasal II Aturan Peralihan Undang-undang Dasar 1945.
Setahun setelah proklamasi kemerdekaan, WvS ini kemudian dinyatakan sebagai KUHP melalui UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana (Berita Negara Republik Indonesia II Nomor 9). Akan tetapi, keberlakuan WvS yang telah ditetapkan menjadi KUHP itu baru berlaku untuk Jawa dan Madura. Setelah diundangkannya Undang-undang Nomor 73 Tahun 1958, barulah KUHP itu berlaku untuk seluruh wilayah Indonesia.
Cukup dua buku
Berbeda dengan KUHP saat ini yang terdiri dari tiga buku, Rancangan KUHP Nasional hanya terdiri dari dua buku. Buku Kesatu memuat aturan umum, dan Buku Kedua memuat aturan tentang tindak pidana. Sementara Buku Ketiga KUHP saat ini yang mengatur tentang pelanggaran dihapus, dan materinya ditampung ke dalam Buku Kedua Rancangan KUHP Nasional dengan kualifikasi tindak pidana.
Dengan penghapusan Buku Ketiga itu, pembedaan antara kejahatan (rechtsdelict) dan pelanggaran (wetsdelict) ditiadakan. Peniadaan pembedaan di antara keduanya karena ada beberapa rechtsdelict yang dikualifikasikan sebagai wetsdelict. Sebaliknya, ada wetsdelict yang dapat dijadikan rechtsdelict hanya karena diperberat ancaman pidananya.
Perubahan aturan umum
Di samping perubahan mendasar itu, terdapat beberapa perubahan aturan umum di dalam Rancangan KUHP Nasional yang tidak kalah mendasarnya. Beberapa dasar ilmu hukum pidana yang sebelumnya tidak disebutkan secara tegas, di dalam Rancangan KUHP Nasional diatur secara eksplisit.
Misalnya saja larangan analogi (Pasal 1 ayat (2)), yang di dalam KUHP saat ini hanya merupakan penafsiran dari ketentuan Pasal 1 KUHP yang mengatur azas legalitas: "Nullum delictum sine praevia lege poenali". Dengan penegasan larangan analogi ini, perbedaan pendapat yang timbul di dalam praktek selama ini dapat dihilangkan.