Pengaturan pidana mati seperti itu sama seperti Rancangan KUHP Nasional sebelumnya yang pernah disusun pemerintah dan kemudian ditarik kembali oleh pemerintah untuk direvisi.
Sepertinya, pengaturan pidana mati di dalam Rancangan KUHP Nasional yang bukan lagi menjadi pidana pokok dapat memunculkan polemik antara mereka yang pro dengan mereka yang anti dengan pidana mati.
Di dalam sebuah seminar yang pernah diselenggarakan Forum Kajian Islam Fakultas Hukum Universitas Indonesia saja telah terjadi perdebatan panas di antara para pembicara, yang masing-masing mewakili kelompok pro dan anti pidana mati.
Perubahan aturan tindak pidana
Di samping melakukan perubahan aturan umum, Rancangan KUHP Nasional juga melakukan beberapa perubahan aturan tindak pidana sebagaimana diatur dalam Buku Kedua. Di antaranya pengaturan mengenai persetubuhan antara laki-laki dan perempuan yang masing-masing belum menikah yang dapat dipidana.
Selain itu, perubahan aturan tindak pidana juga mencakup penghapusan tindak pidana berencana, dan penambahan tindak pidana baru, yakni tindak pidana penghinaan terhadap penyelenggaraan peradilan (contempt of court), pencucian uang (money laundering), dan terorisme.
Tindak pidana mengenai penghinaan terhadap penyelenggaraan peradilan tidak dikelompokkan dalam satu bab tersendiri. Pengaturan tindak pidana ini tersebar dalam bab yang berbeda, meskipun terdapat bab khusus yang merumuskan tindak pidana terhadap penyelenggaraan peradilan (Bab VI Buku Kedua, Pasal 288 sampai Pasal 289).
Sementara itu, tindak pidana terorisme diatur pada Pasal 302, dengan ancaman pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau penjara paling lama 20 tahun dan paling singkat 5 tahun. Yang perlu diingat kembali, ancaman pidana mati ini lagi-lagi merupakan alternatif terakhir, dan bukan pidana pokok.