Indonesia sebagai negara hukum telah membentuk peradilan administrasi (Peradilan Tata Usaha Negara). Dalam sebuah negara hukum dikenal suatu asas yaitu tidak ada kewenangan tanpa pertanggungjawaban (geen bevogegheid zonder verantwoordelijkheid) atau tanpa kewenangan tidak ada pertanggungjawaban (zonder bevoegheid geen verantwoordelijkheid).
Kita ketahui tujuan adanya Peradilan Tata Usaha (PTUN) ialah memberikan perlindungan kepada rakyat pencari keadilan yang merasa dirinya dirugikan akibat suatu keputusan tata usaha negara. Dalam rangka memberikan perlindungan bagi rakyat, lalu bagaimana yang seharusnya pengaturan mengenai sikap pejabat pemerintahan yang baik? Apakah dengan Fiktif Negatif atau Fiktif Positif pasca berlakunya UU Cipta Kerja?
Kewenangan Pengadilan Tata Usaha Negara untuk menyelesaikan sengketa tata usaha negara diperluas setelah diterbitkan dan mulai berlakunya UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan yaitu kewenangan untuk memutus mengenai permohonan tata usaha negara untuk memperoleh putusan penerimaan permohonan dari pejabat tata usaha negara yang berwenang.
Sebelum terbitnya UU No. 30 Tahun 2014, sikap diam dan pengabaian pejabat tata usaha negara tersebut diartikan sebagai penolakan. Hal ini menunjukkan bahwa UU No. 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara menganut asas fiktif negatif. Seiring dengan perkembangan hukum terdapat pergeseran atas sikap diam dan pengabaian pejabat pemerintahan. Terlebih terdapat adagium lex posteriori derogat legi priori, maka yang berlaku adalah UU Administrasi Pemerintahan.