Fenomena Vexatious Litigation dalam Perspektif Hukum Progresif
Oleh: Al. Wisnubroto *)

Fenomena Vexatious Litigation dalam Perspektif Hukum Progresif

Siapa yang tidak kesal atau jengkel bila tiba-tiba seseorang digugat (perdata) atau dilaporkan/diadukan (pidana) melalui institusi peradilan sehingga harus terukuras energinya meladeni gugatan atau laporan tersebut?

Bacaan 2 Menit

 

Dalam perspektif hukum progresif seorang jurist memang harus mampu berhukum dengan dilandasi sikap compassion, empathy, sincerety dan dare (Satjipto Rahardjo, Arsenal Hukum Progresif, 2007), sehingga manusia pengemban hukum progresif dituntut untuk melakukan lompatan lebih dari sekedar tugas dan kewenangan yang diberikan oleh teks aturan formal (doing to the utmost atau dalam bahasa para leluhur kita: mesu budi).

 

Dalam sejarah peradilan kita pernah memiliki nama-nama hakim, jaksa, polisi dan advokat yang dalam menjalankan profesinya mau ber-mesu budi membuat terobosan yang tidak lazim (dari kaca mata sistem hukum positif) dalam rangka menegakkan keadilan. Satu-dua memang terangkat pamornya, namun kebanyakan justru harus menanggung resiko berat. Alih-alih naik pamor (karena kebanyakan kiprah mereka berada dalam tataran lokal sehingga tidak terekspos), nasib mereka justru tidak terlalu baik. Dalam pusaran sistem yang korup, hakim, jaksa, polisi dan advokat yang progresif justru sering dikucilkan oleh lingkungan profesinya.

 

Hakekat hukum progresif adalah pergeseran dari sistem formal ke sistem manusia. Jadi vexatious litigation yang benar-benar bersifat vexing (tidak ada visi luhurnya) memang tidak boleh dibiarkan menjadi trend  dalam budaya peradilan. Namun biarkan peran manusia  (hakim) secara progresif (pengetahuan, keahlian dan logika yang utuh serta ketajaman nurani) dalam memberikan makna di balik sebuah gugatan.

 

-------------

*) Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta dan Advokat, anggota Serikat Pekerja Hukum Progresif (SPHP).

 

Tags: