Fenomena Vexatious Litigation dalam Perspektif Hukum Progresif
Oleh: Al. Wisnubroto *)

Fenomena Vexatious Litigation dalam Perspektif Hukum Progresif

Siapa yang tidak kesal atau jengkel bila tiba-tiba seseorang digugat (perdata) atau dilaporkan/diadukan (pidana) melalui institusi peradilan sehingga harus terukuras energinya meladeni gugatan atau laporan tersebut?

Bacaan 2 Menit

 

Lebih celaka lagi banyak yuris kita yang menganggap civil law yang notabene berasal dari tradisi Eropa Kontinental sebagai sistem hukum Indonesia dan memperlakukannya secara strict dan harus ‘steril' sehingga seringkali alergi terhadap pengaruh sistem lain.

 

Fenomena tersebut nampak misalnya pada penalaran Saudara Boen ketika  mempersoalkan cara berhukum pihak-pihak yang mengajukan vexatious litigation terutama hakim yang mengabulkan gugatan tersebut dalam putusannya yang bersifat kontroversial. Cara berhukum yang demikian dianggap bertentangan dengan sistem hukum Indonesia yang menurut tulisan Boen lebih berciri pada sistem civil law, sehingga mengharamkan terobosan penemuan hukum yang disebut-sebut sebagai judge made law, citizen law suit dan berbagai hal yang berasal dari sistem common law.

 

Dalam perkembangan peradaban yang semakin global ini sebenarnya semakin tidak relevan membuat dikotomi sistem hukum civil law, common law maupun berbagai sistem hukum lainnya secara hitam putih. Dalam tataran praksis yang berkembang di berbagai negara justru lebih nampak sebagai mixed system (Rene David & J.E.C. Brierly, Major Legal Systems in The World Today, 1978). Di Indonesia misalnya, sekalipun bila dirunut tatanan hukum modernnya banyak dipengaruhi oleh tradisi hukum Eropa Kontinental (terutama Belanda), namun keberadaan sistem hukum adat dan sistem hukum Islam juga berlaku. Bahkan belakangan di bidang tertentu model-model yang berasal dari tradisi hukum Anglo Saxon juga mulai diadopsi, misalnya berbagai aturan di bidang hukum bisnis, model gugatan class action, citizen law suit, model penalaran hukum yang menghasilkan judge made law, hingga munculnya lembaga-lembaga penyelesaian sengketa yang formatnya yang mirip dengan tribunal.

 

Sebenarnya dalam perspektif realitas sosial dan pembaharuan hukum Indonesia, diadopsinya berbagai model, konsep atau sistem hukum tersebut adalah sesuatu yang wajar dan bersifat alamiah. Apalagi bila menyadari bahwa masyakat Indonesia bersifat plural dan prismatik sehingga hubungan-hubungan hukumnya bersifat lebih kompleks disamping tentu saja pengaruh dari transformasi global di berbagai bidang.

 

Sayang, dalam tataran politik hukum, upaya menformulasikan substansi hukum adat dalam sistem hukum modern atau yang menjadi fokus pembicaraan dalam tulisan ini adalah pengadopsian susbstansi hukum yang berasal dari sistem common law ke dalam sistem hukum Indonesia yang diyakini bertradisi civil law, tidak pernah tuntas dan konsisten serta utuh (menyeluruh). Wajar saja bila perkawinan sistem hukum yang tidak sempurna tersebut selalu menimbulkan permasalahan baik dalam tataran konsep pemikiran maupun dalam implementasinya, baik dalam lingkup akademis maupun praktis. Terutama bila cara pandangnya berperspektif legal-positivistik yang kaku dan hitam-putih.

 

Jadi apakah cukup arif bila serta-merta menuduh terobosan yang dilakukan LSM atau koalisi masyarakat (misalnya saat mengajukan citizen law suit) sebagai vexatious litigation dan penemuan hukum (yang diaku sebagai judge made law) oleh hakim yang mengabulkan terobosan tersebut sebagai putusan yang aneh bin ajaib, lantaran tidak steril lagi sebagai civil law system?

 

Cara berhukum dengan logika penalaran kaca mata kuda tersebut memang ciri khas dari sistem hukum modern (legal-positivistik; legistik-formalistik), namun sekaligus merupakan ancaman kegagalan dalam mewujudkan keadilan yang substantif, khususnya bagi pihak yang lemah dan kaum marginal. Sistem hukum modern yang lahir dari alam pikir liberal dan kapitalisme tak urung hanya akan menguntungkan pihak yang kuat, baik secara ekonomi maupun politik (the ‘haves' come out ahead atau asu gedhe menang kerahe). Lalu apakah lantaran tidak ada sistemnya atau dianggap sistemnya salah kamar, masyarakat menjadi kehilangan hak untuk mengakses keadilan melalui mekanisme gugatan perdata? Bahkan (bila usulan mempositifkan vexatious litigation diterima) salah-salah bisa terkena sanksi karena didakwa telah melakukan vexatious litigation.

Tags: