Faktor Kemanusiaan Jadi Alasan Grasi, Seperti Apa Indikatornya?
Berita

Faktor Kemanusiaan Jadi Alasan Grasi, Seperti Apa Indikatornya?

Masih ada perlakuan diskrimintif penegak hukum terhadap pemberian grasi.

Aji Prasetyo
Bacaan 2 Menit

Melihat banyaknya perkara yang korupsi yang dilakukan Annas, menarik diketahui apakah ia memang patut mendapatkan grasi yang diberikan oleh Presiden Joko Widodo. Apalagi KPK menilai korupsi yang terjadi di sektor Kehutanan memiliki akibat yang lebih besar terhadap hutan itu sendiri, lingkungan dan kepentingan publik untuk lingkungan yang sehat.

Aktivis Hak Asasi Manusia Haris Azhar mengatakan pemberian grasi kepada seorang terpidana sebenarnya merupakan hal yang wajar dan memang diperbolehkan menurut aturan hukum. Namun, ia menyoroti sejumlah poin dalam proses pemberian grasi tersebut. "Dibilang boleh dikasih ya memang boleh diberikan, tapi prosedur dan pemberian itu kerap diperjual belikan dan dipraktekan secara diskriminatif. Jadi kalau ngomong diatas kertas aturan boleh," kata Haris kepada hukumonline.

Pendiri kantor hukum dan HAM Lokataru ini berpendapat alasan kemanusiaan dalam pemberian grasi terkesam sumir sehingga harus dipertegas indikasinya. Misal jika dia sakit dan sedang menjalani perawatan, atau memang sudah uzur. Namun masalahnya soal dugaan adanya diskriminasi dalam pemberian grasi.

"Abu Bakar Ba'asyir (terpidana kasus terorisme) juga uzur tapi tidak dilepas. Padahal sama-sama kejahatan serius. (Grasi bisa diberikan) misal dia menyesal, beri uang pengganti, ada pemulihan aset ke negara, memulihkan lingkungan kalau kejahatan lingkungan, uzur, dibutuhkan diluar. Kalau alasan kemanusiaan itu tidak kurang-kurang, jangankan yang dipenjara yang diluar penjara saja butuh bantuan kemanusiaan kan," pungkasnya.

Tidak hanya grasi, Haris juga menyoroti pemberian keringanan lain seperti pembantaran terhadap tahanan. KPK diketahui pernah membantarkan Terdakwa kasus suap Kajari Praya, Bambang W. Soeharto pada 2015 lalu. Surat pembacaan dakwaan terhadap Bambang belum pernah dilakukan dan sidang ditunda berkali-kali karena ia sakit.

(Baca juga: Penilaian Hukuman Mati dan Penolakan Grasi Harus Jelas).

Bahkan Bambang pernah masuk ruang sidang dengan tiduran di ranjang rumah sakit. Namun pada pada 2017, ia terlihat hadir dalam acara pengukuhan pengurus Partai Hanura, di Sentul, Bogor. Dalam acara itu, ia diberi amanat sebagai Wakil Ketua Dewan Pembina Partai Hanura.

Haris berpendapat jika seorang terdakwa dibantarkan dengan alasan sakit, maka setelah kondisinya lebih baik dan bisa mengikuti persidangan seharusnya penegak hukum kembali memprosesnya. Di sinilah, perlakuan diskriminatif penegak hukum kerap kali terlihat.

"Saya pernah punya klien. Klien saya sidang paralel dengan terdakwa yang lain dan terdakwa itu sudah stroke dua kali dan hakim tidak pernah membantarkan, terakhir dia meninggal baru dibantarkan. Di sidang collapse baru dibantarkan, itu kan ngawur. Kejaksaan tidak pernah berikan pemeriksaan rutin, terakhir sudah dua kali stroke, ketiga meninggal, jadi diskriminatif dan tidak profesional, problemnya itu," tegasnya. 

Tags:

Berita Terkait