Faktor Kemanusiaan Jadi Alasan Grasi, Seperti Apa Indikatornya?
Berita

Faktor Kemanusiaan Jadi Alasan Grasi, Seperti Apa Indikatornya?

Masih ada perlakuan diskrimintif penegak hukum terhadap pemberian grasi.

Aji Prasetyo
Bacaan 2 Menit
Annas Maamun saat menjalani pemeriksaan di KPK. Foto: RES.
Annas Maamun saat menjalani pemeriksaan di KPK. Foto: RES.

Annas Maamun, terdakwa kasus korupsi mendapatkan grasi dari Presiden RI Joko Widodo. Salah satu alasannya yaitu terkait dengan faktor kemanusiaan seperti sudah uzur, renta, kesehatan menurun dan mengidap berbagai macam penyakit mulai dari lambung, hernia hingga sesak nafas. 

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai pihak yang menangani perkara ini mengaku kecewa atas diberikannya grasi ini. Apalagi, telah melewati proses yang cukup kompleks dan membutuhkan waktu yang cukup lama, yaitu: sejak OTT: 25 September 2014 hingga putusan berkekuatan hukum tetap di MA pada 4 Februari 2016.

"Kami cukup kaget ketika mendengar Informasi pemberian grasi terhadap Annas Maamun yang justru terlibat dalam sejumlah perkara korupsi yang ditangani KPK. Bahkan kasus korupsi yang dilakukan yang bersangkutan terkait dengan sektor kehutanan, yaitu: suap untuk perubahan kawasan bukan hutan untuk kebutuhan perkebunan sawit saat itu," kata Febri.

Annas didakwa dengan dakwaan komulatif yang berarti tidak hanya satu perkara saja, namun ada tiga perkara korupsi yang dilakukannya dan sudah berkekuatan hukum tetap.  Pertama menerima suap AS$166,100 dari Gulat Medali Emas Manurung dan Edison Marudut terkait kepentingan memasukan areal kebun sawit dengan total luas 2.522 Hektar di 3 Kabupaten dengan perubahan luas bukan kawasan hutan di Provinsi Riau.

(Baca juga: Kejagung Minta Fatwa MA Soal Grasi Terpidana Mati).

Kedua, menerima suap Rp500 juta dari Edison Marudut melalui Gulat Medali Emas Manurung terkait dengan pengerjaan proyek untuk kepentingan perusahaan Edison Marudut di lingkungan Provinsi Riau.

Ketiga menerima suap Rp3 Milyar dari janji Rp8 miiliar (dalam bentuk mata uang dollar Singapura) dari Surya Darmadi melalui Suheri Terta untuk kepentingan memasukkan lahan milik sejumlah anak perusahaan PT. Darmex Argo yang bergerak dalam usaha perkebunan kelapa sawit, dalam revisi usulan perubahan luas kawasan bukan hutan di Provinsi Riau.

Selain itu, ia juga masih terjerat kasus suap lain dengan peran sebagai pemberi terkait pembahasan RAPBD Tahun Anggaran 2014 dan 2015 pada Provinsi Riau yaitu kepada salah satu anggota DPRD berinisial AK. Surat Perintah Penyidikan diteken pada Januari 2015 lalu.

Melihat banyaknya perkara yang korupsi yang dilakukan Annas, menarik diketahui apakah ia memang patut mendapatkan grasi yang diberikan oleh Presiden Joko Widodo. Apalagi KPK menilai korupsi yang terjadi di sektor Kehutanan memiliki akibat yang lebih besar terhadap hutan itu sendiri, lingkungan dan kepentingan publik untuk lingkungan yang sehat.

Aktivis Hak Asasi Manusia Haris Azhar mengatakan pemberian grasi kepada seorang terpidana sebenarnya merupakan hal yang wajar dan memang diperbolehkan menurut aturan hukum. Namun, ia menyoroti sejumlah poin dalam proses pemberian grasi tersebut. "Dibilang boleh dikasih ya memang boleh diberikan, tapi prosedur dan pemberian itu kerap diperjual belikan dan dipraktekan secara diskriminatif. Jadi kalau ngomong diatas kertas aturan boleh," kata Haris kepada hukumonline.

Pendiri kantor hukum dan HAM Lokataru ini berpendapat alasan kemanusiaan dalam pemberian grasi terkesam sumir sehingga harus dipertegas indikasinya. Misal jika dia sakit dan sedang menjalani perawatan, atau memang sudah uzur. Namun masalahnya soal dugaan adanya diskriminasi dalam pemberian grasi.

"Abu Bakar Ba'asyir (terpidana kasus terorisme) juga uzur tapi tidak dilepas. Padahal sama-sama kejahatan serius. (Grasi bisa diberikan) misal dia menyesal, beri uang pengganti, ada pemulihan aset ke negara, memulihkan lingkungan kalau kejahatan lingkungan, uzur, dibutuhkan diluar. Kalau alasan kemanusiaan itu tidak kurang-kurang, jangankan yang dipenjara yang diluar penjara saja butuh bantuan kemanusiaan kan," pungkasnya.

Tidak hanya grasi, Haris juga menyoroti pemberian keringanan lain seperti pembantaran terhadap tahanan. KPK diketahui pernah membantarkan Terdakwa kasus suap Kajari Praya, Bambang W. Soeharto pada 2015 lalu. Surat pembacaan dakwaan terhadap Bambang belum pernah dilakukan dan sidang ditunda berkali-kali karena ia sakit.

(Baca juga: Penilaian Hukuman Mati dan Penolakan Grasi Harus Jelas).

Bahkan Bambang pernah masuk ruang sidang dengan tiduran di ranjang rumah sakit. Namun pada pada 2017, ia terlihat hadir dalam acara pengukuhan pengurus Partai Hanura, di Sentul, Bogor. Dalam acara itu, ia diberi amanat sebagai Wakil Ketua Dewan Pembina Partai Hanura.

Haris berpendapat jika seorang terdakwa dibantarkan dengan alasan sakit, maka setelah kondisinya lebih baik dan bisa mengikuti persidangan seharusnya penegak hukum kembali memprosesnya. Di sinilah, perlakuan diskriminatif penegak hukum kerap kali terlihat.

"Saya pernah punya klien. Klien saya sidang paralel dengan terdakwa yang lain dan terdakwa itu sudah stroke dua kali dan hakim tidak pernah membantarkan, terakhir dia meninggal baru dibantarkan. Di sidang collapse baru dibantarkan, itu kan ngawur. Kejaksaan tidak pernah berikan pemeriksaan rutin, terakhir sudah dua kali stroke, ketiga meninggal, jadi diskriminatif dan tidak profesional, problemnya itu," tegasnya. 

Tags:

Berita Terkait