Evaluasi Penegakan Hukum Pidana Pemilu, Menyoal Efektivitas Gakkumdu
Berita

Evaluasi Penegakan Hukum Pidana Pemilu, Menyoal Efektivitas Gakkumdu

​​​​​​​Gakkumdu yang di dalamnya terdiri dari Bawaslu, Polri, dan Kejaksaan kerap kali belum seragam dalam menentukan terpenuhi atau tidaknya unsur pidana.

Moch Dani Pratama Huzaini
Bacaan 2 Menit

 

Menanggapi hal tersebut, Topo menilai hal tersebut sebagai sesuatu yang wajar. Hubungan yang sama tidak cuma terjadi di Gakkumdu. Topo mencontohkan, relasi penyidik polri dan Kejaksaan yang juga mengalami tantangan yang serupa. Namun dalam proses Pemilu, harus diakui bahwasanya Bawaslu sebagai lembaga pengawas memiliki perhatian lebih terhadap aspek-aspek kecurangan di lapangan. Untuk itu jika inisiatif tersebut muncul dari Bawaslu, hal tersebut harus dipahami.

 

“Jadi antara Bawaslu yang semangat mengawasi pemilu yang bersih, jujur, adil, tapi kekurangan dari sisi hukum acaranya. Berbeda dengan jaksa dan polisi yang memiliki pengetahuan tentang hukum normatifnya tapi belum tentu memiliki semangat yang sama dengan Bawaslu dalam menjaga aspek kepemiluannya. Jadi wajar adanya perbedaan semacam itu,” ujar Topo.

 

Terkait hal ini, anggota Bawaslu Fritz Edward Siregar mengakui terdapat standar yang ketat dalam penegakan hukum pidana. Mekanisme KUHP dan KUHAP sebelumnya telah mengatur aspek-aspek terkait tindak pidana Pemilu. Oleh karena itu Fritz menilai hal ini sebagai latihan awal bagi Bawaslu jika benar diproyeksikan sebagai Pengadilan Pemilu. Untuk itu, Fritz menilai perlu didiskusikan lebih jauh persiapan Bawaslu untuk menjadi penegak hukum pidana Pemilu. “Tentu kita juga harus memperhatikan juga pengadilan pidana umum kan. Ini opsi yang mungkin bisa didiskusikan dalam perubahan UU Pemilu,” ujar Fritz.

 

Sementara itu dari segi pengaturan, peneliti Perkumpulan Pemilu untuk Demokrasi (Perludem) Fadly Ramdanil menilai, problem pemidanaan Pemilu terletak pada jumlah ancaman sanksi pidana yang terlalu banyak. Ia mempertanyakan aspek efektivitas keberadaan ancaman pidana yang dalam konteks penyelenggaraan pemilu akan jauh lebih relevan jika sanksi administratif terhadap peserta pemilu yang lebih ditekankan. Hal ini akan jauh lebih berdampak kepada kepatuhan ketimbang paradigma pemidanaan.

 

Paradigma pemidanaan dalam konteks peyelenggaraan Pemilu menurut Fadly relevan diterapkan terhadap sejumlah kriteria ancaman yang berdampak pada terganggunya keamanan proses penyelenggaraan Pemilu. Sementara tindakan kecurangan atau pelanggaran administrasi terhadap proses akan lebih baik menggunakan ancaman sanksi administratif atau bahkan diskualifikasi terhadap keikutsertaan dalam Pemilu.

 

“Ancaman pidana terhadap PPS yang tidak melakukan perbaikan terhadap daftar pemilih itukan gak perlu. Itu penyelenggara di atasnya bisa melakukan. Nah hal-hal begitu menurut saya ke depan harus diperbaiki,” ujar Fadly.

Tags:

Berita Terkait