Empat Hal ‘Haram’ dalam Amandemen Konstitusi
Utama

Empat Hal ‘Haram’ dalam Amandemen Konstitusi

Mengubah sistem presidensial, bentuk negara kesatuan, pembukaan UUD 1945, dan menambah Penjelasan UUD 1945.

Rofiq Hidayat
Bacaan 2 Menit

 

“Boleh-boleh saja. Itu norma bisa ditentukan apakah perlu masuk atau di luar konstitusi. Nah, MPR menganggap perlu diatur masuk konstitusi. Jadi boleh sepanjang ada konsensus,” ujarnya.

 

Dia menambahkan MPR perlu menjelaskan kepada publik soal amandemen terbatas dan tidak melebarkan ke hal-hal lain yang sifatnya fundamental. Yang terpenting, proses amandemen konstitusi ini bersifat partisipatif. Artinya, pimpinan MPR wajib membuka akses seluas-luasnya bagi publik tentang model haluan negara yang bakal digagas nantinya termasuk jika ada hal-hal lain yang akan diubah.  

 

“Ketika amandemen konstitusi disahkan harus mencerminkan kekuatan politik yang ada di MPR dan masukan-masukan dari masyarakat/rakyat. Jangan sampai ada voting, amandemen harus mencerminkan musyawarah mufakat (aklamasi),” harapnya.

 

Sebelumnya, Ketua MPR Bambang Soesatyo mengaku telah menugaskan Badan Pengkajian MPR untuk segera menyerap aspirasi di masyarakat. Nantinya, aspirasi tersebut dikaji dan didalami sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Selanjutnya, Badan Pengkajian MPR bakal mengelaborasi dan mengajukan rekomendasi kepada MPR periode 2014-2019 secara komprehensif dan transparan.

 

“Nantinya dapat menyamakan pandangan antar fraksi dan kelompok Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Begitu pula partisipasi publik bakal dibuka seluasnya dengan mengundang berbagai elemen masyarakat. Mulai pakar, akademisi, organisasi kemasyarakatan, maupun tokoh bangsa. Saat ini, kita seolah-olah digambarkan telah mengambil keputusan amandemen, padahal belum,” ujarnya di Komplek Parlemen, Rabu (9/10/2019) kemarin. 

 

MPR periode 2014-2019 telah menerbitkan tujuh poin usulan amandemen UUD 1945. Pertama, pentingnya pokok-pokok haluan negara. Kedua, penataan kewenangan MPR. Ketiga, penataan kewenangan DPD. Keempat, penataan sistem presidensial. Kelima, penataan kekuasaan kehakiman. Keenam, penataan sistem hukum dan peraturan perundang-undangan. Ketujuh, pelaksanaan pemasyarakatan 4 pilar dan Ketetapan MPR.

 

Untuk diketahui, wacana amandemen konstitusi dengan memasukan kembali GBHN menuai kritik dari sejumlah kalangan, antara lain dari masyarakat sipil dan akademisi. Salah satunya, Dosen STHI Jentera Bivitri Susanti yang menilai tidak ada urgensinya mengamandemen konstitusi jika tujuannya hanya memberlakukan kembali GBHN dan memperkuat MPR. Menurutnya, ada empat alasan kenapa GBHN tidak diperlukan lagi untuk kondisi saat ini. 

Tags:

Berita Terkait