Eksprimen Hukum dalam Pilkada Sulsel
Fokus

Eksprimen Hukum dalam Pilkada Sulsel

Peraturan Mahkamah Agung sendiri tegas menyatakan bahwa jika permohonan dikabulkan, ada dua hal yang perlu dinyatakan MA dalam putusan: membatalkan hasil perhitungan suara KPUD dan menetapkan hasil perhitungan suara yang benar.

Ali/IHW/NNC
Bacaan 2 Menit

 

Bagi Indra, penghitungan ulang menjadi tidak relevan bila keberatannya menyangkut manipulasi suara atau memang telah terjadi kecurangan. Sebaliknya bagi Hamdan, kecurangan bukan hal baru dalam pilkada. Saya kira tidak ada pilkada benar-benar bersih, ujarnya. Dengan logika seperti itu, Hamdan berpendapat kalau sedikit kecurangan saja sudah bisa dijadikan acuan gelar pilkada ulang, maka hampir semua pilkada di Indonesia akan  diulang.

 

Indra berpendapat pemilihan atau pemungutan suara ulang bukanlah hal yang tabu di Indonesia. Sebenarnya kita memiliki landasan hukum, ujarnya. Ia lalu menunjuk ketentuan Pasal 104 UU No 32 Tahun 2004. Dari ketentuan Pasal itu menyiratkan bahwa pemungutan suara ulang bukanlah hal yang haram, sepanjang terbukti terjadi kecurangan-kecurangan dalam pelaksanaan Pilkada, imbuhnya.

 

Pasal 104

(1)         Pemungutan suara di TPS dapat diulang apabila terjadi kerusuhan yang mengakibatkan hasil pemungutan suara tidak dapat digunakan atau penghitungan tidak dapat dilakukan.

(2)         Pemungutan suara di TPS dapat diulang apabila dari hasil penelitian dan pemeriksaan Panitia Pengawas Kecamatan terbukti terdapat satu atau lebih dari keadaan sebagai berikut:

a.             pembukaan kotak suara dan/atau berkas pemungutan dan penghitungan suara tidak dilakukan menurut tata cara yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan;

b.             petugas KPPS meminta pemilih memberi tanda khusus, menandatangani, atau menulis nama atau alamatnya pada surat suara yang sudah digunakan;

c.             lebih dari seorang pemilih menggunakan hak pilih lebih dari satu kali pada TPS yang sama atau TPS yang berbeda;

d.             petugas KPPS merusak lebih dari satu surat suara yang sudah digunakan oleh pemilih sehingga surat suara tersebut menjadi tidak sah; dan/atau

e.             lebih dari seorang pemilih yang tidak terdaftar sebagai pemilih mendapat kesempatan memberikan suara pada TPS.

 

Uniknya, Pasal 104 ini juga yang digunakan Hamdan untuk memperkuat argumennya. Perbedaan pendapat bukan hanya diantara para pakar, tetapi juga terjadi diantara hakim yang memutus. Ada dua disenting opinion dari dua orang hakim, Paulus Effendi Lotulung dan Djoko Sarwoko. Mereka menilai bahwa hakim agung tidak berhak memutuskan untuk pikada ulang, tapi hanya penghitungan ulang.  

 

Majelis hakim yang menangani sengketa pilkada Sulsel memang memiliki latar belakang berbeda. Paulus Effendi Lotulung, ketua majelis, adalah Ketua Muda MA Bidang Tata Usaha Negara. Djoko Sarwoko adalah mantan Direktur Pidana, yang kini menjabat Ketua Muda MA Bidang Pengawasan. Sebelum diangkat menjadihakim agung, HM Hakim Nyak Pha dikenal sebagai akademisi yang menggeluti bidang antropologi dan adat. Abdul Manan adalah hakim agung yang banyak menangani perkara agama. Sementara anggota majelis Mansyur Kertayasa pernah tercatat sebagai Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara.

 

Terkait dengan debat kusir soal pilkada ulang dan perhitungan suara ulang, menarik untuk menyimak tulisan  Fahri Bachmid di harian Tribun Timur yang terbit di Sulawesi Selatan. Praktisi hukum di Makassar itu menganalisis putusan MA dalam sengketa pilkada Sulsel. Dalam tulisannya, Fahri mengakui bahwa secara normatif UU Pemda dan Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2005 -- tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah – tidak mengenal pilkada ulang. Di kedua payung hukum itu hanya dikenal perhitungan suara ulang dan pemungutan suara ulang di TPS yang dianggap bermasalah. Tetapi menurut Fahri, persoalan pilkada ulang adalah dalam konteks proses pilkada yang harus dilaksanakan secara demokratis oleh Panwas dan KPUD sebagai keputusan politik. Dengan demikian wewenang lembaga itu adalah wewenang publik, bukan keputusan hukum dalam konteks yudisial dimana MA tidak terikat.

 

Selanjutnya, Fahri mengingatkan bahwa MA sebagai pembuat putusan tertinggi berwenang membuat hukum (judge made law). Siapapun dipersilakan mengkriti. Tetapi putusan MA bukan untuk tidak dipatuhi.

Halaman Selanjutnya:
Tags: