Eksplotasi Seksual Online pada Anak Marak: Aturan Hukum Tertinggal Teknologi
Utama

Eksplotasi Seksual Online pada Anak Marak: Aturan Hukum Tertinggal Teknologi

Eksploitasi seksual pada anak seringkali berawal bukan karena anak mencari informasi, melainkan karena disodorkan secara tidak sengaja melalui iklan di internet, video atau gambar yang membuat rasa penasaran sang anak memuncak.

Hamalatul Qur'ani
Bacaan 2 Menit

 

“Anehnya, bahkan ketika Kominfo sudah take down 1000 akun hari ini, besoknya sudah muncul lagi lebih dari 2 ribu hingga 3 ribu akun baru. Sehingga tak bisa dipungkiri orang tua harus bisa menjadi polisi bagi anak-anaknya” kata Rita.

 

(Baca Juga: ECPAT dan Badiklat Kejaksaan Agung Jalin Kerjasama Tangani Eksploitasi Seksual Anak)

 

Adapun modus operandiyang harus dikenali dan diantisipasi orang tua, dijabarkan Rita seperti Cyber Stalking (mengamati, mengintip dan mengikuti perbuatan di dunia maya), Cyber grooming (bujuk rayu yang dapat meyakinkan sang anak untuk aktif secara seksual), Sexting (menggambar bagian tubuh diri sendiri tanpa memahami maksudnya, konsekuensinya sang anak bisa berhadapan dengan hukum sebagai pelaku), sextortion (pemerasan seksual), Cyber Harassment (pelecehan) dan lainnya.

 

“Namun seringkali anak-anak yang jadi korban ini tidak sadar kalau dia jadi korban, sementara dari awal melalui modus-modus operandi itu sudah dikondisikan untuk dieksploitasi ke depannya,” ungkap Rita.

 

Ironisnya, di tengah perkembangan pesat bentuk-bentuk baru eksploitasi seksual anak, Rita mengaku perangkat aturan hukum di Indonesia belum mampu mengakomodir permasalahan yang terjadi. Bahkan dalam kasus yang pernah ia tangani, seringkali ahli hukum berpandangan bahwa predator yang mengoleksi foto-foto anak dengan pakaian minim dianggap tak bermasalah secara hukum, padahal potensi penyalahgunaan terlebih bagi pelaku pedofil patut diambil tindakan.

 

Mewabahnya pelaku pedofilia ini juga tak bisa dianggap remeh. Pernah diulas dalam artikel hukumonline, di awal 2018, Kemensos menerima laporan kasus kekerasan seksual pada anak di Tangerang yang dilakukan WS, seorang guru honor terhadap 41 anak. Tak hanya itu, kasus MM mencabuli 9 anak kecil di Buleleng Bali di Tahun 2001, kasus MH di Tahun 2006 yang mencabuli 6 siswa SD di Tabanan, Bali, bahkan kasus pencabulan 14 anak jalanan yang berujung mutilasi 4 korban di Jakarta dalam kasus Baekuni yang akhirnya divonis hukuman seumur hidup.

 

(Baca juga: Disayangkan, Tindak Pidana Prostitusi Terhadap Anak Tak Masuk Buku II RKUHP)

 

Untuk mencegah terjadinya kekerasan seksual dan pencabulan tersebut, Rita menyebut sebetulnya sudah ada Perpres No.25 Tahun 2012 tentang Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan Pornografi. Banyak strategi yang dituangkan didalamnya tapi eksekusinya masih belum maksimal. Harusnya, kata Rita, aksi dalam menyikapi isu ini tidak hanya dilakukan pada tataran rancangan aksi pencegahan nasional melainkan dalam bentuk nyata bekerjasama melibatkan masyarakat.

 

Ancaman Pidana Pelaku (Dewasa dan Anak)

Sebelumnya, pernah diulas dalam klinik hukumonline, bahwa seorang anak yang menjadi pelaku kekerasan atau ancaman kekerasan seksual dapat diancam pidana penjara paling lama ½ dari maksimum ancaman pidana penjara bagi orang dewasa.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait