Eksekusi Objek Jaminan Fidusia Sulit? Begini Solusi yang Ditawarkan
Utama

Eksekusi Objek Jaminan Fidusia Sulit? Begini Solusi yang Ditawarkan

Diduga ada kesalahan pemahaman atas parate eksekusi dan eksekusi riil titel eksekutorial.

Muhammad Yasin
Bacaan 2 Menit

Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final dan mengikat. Imbas putusan UU Jaminan Fidusia adalah kemungkinan banyaknya permohonan eksekusi jaminan fidusia ke pengadilan. Hakim yustisial pada Mahkamah Agung, D.Y. Witanto mengatakan pada dasarnya pengadilan siap untuk menerima permohonan karena secara normatif pengadilan tidak boleh menolak perkara yang masuk. Cuma, beban pengadilan saat ini juga sudah banyak. “Eksekusi melalui pengadilan bukan solusi,” ujarnya.

(Baca: MK Tutup Ruang Debt Collector?).

Sita eksekusi terhadap benda bergerak bukan perkara mudah. Pengadilan terikat pada kompetensi relative, sebaliknya debitor dapat memindahkan benda bergerak sewaktu-waktu. Lagipula, proses eksekusi melalui pengadilan relatif panjang karena harus memenuhi prosedur eksekusi sebagaimana diatur dalam HIR/RBg (Hukum Acara Perdata). Dan, yang tak penting, objek jaminan pada umumnya bernilai kecil sehingga akan habis oleh pembayaran biaya eksekusi dan biaya pajak.

Kesalahan Memahami

Teddy menduga ada kesalahan pemahaman tentang eksekusi jaminan fidusia dalam pertimbangan Mahkamah Konstitusi. Pada bagian pertimbangan, Mahkamah Konstitusi menyatakan ketentuan dalam norma Pasal 15 ayat (3) merupakan lanjutan dari ketentuan norma Pasal 15 ayat (2) UU No. 42 Tahun 1999. Secara substansial, itu merupakan konsekuensi yuridis akibat adanya ‘titel eksekutorial’ dan ‘dipersamakannya sertifikat jaminan fidusia dengan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap’. Padahal, jelas Teddy Anggoro, ada perbedaan kedua pasal tersebut. Pasal 15 ayat (1) dan ayat (2) mengatur tentang eksekusi riil titel eksekutorial; sedangkan Pasal 15 ayat (3) mengatur tentang parate eksekusi.

Mahkamah juga mempertimbangkan bahwa apabila pemberi hak fidusia (debitor) tidak mengakui adanya cidera janji atau wanprestasi dan keberatan menyerahkan objek jaminan fidusia secara sukarela, maka penerima jaminan fidusia (kreditor) tidak boleh melakukan eksekusi sendiri melainkan harus mengajukan permohonan pelaksanaan eksekusi ke pengadilan negeri.

Di sinilah, Teddy menduga, pemahaman Mahkamah tercampur mengenai cara eksekusi jaminan fidusia yang diberikan Undang-Undang. “Kalau eksekusi riil titel eksekutorial memang harus sesuai Pasal 224 HIR, yakni melalui pengadilan," tegasnya.

Pemaknaan Pasal 15 ayat (2) UU Jaminan Fidusia dapat menimbulkan masalah. Sebab, jika dibaca pertimbangan Mahkamah Konstitusi tersirat bahwa penentuan cidera janji harus disepakati kreditor dan debitor pada saat objek jaminan akan dieksekusi. Padahal, pada awal perjanjian sudah disepakati hak dan kewajiban beserta kriteria wanprestasi.

Teddy berpendapat kreditor tetap dapat melakukan eksekusi meskipun Mahkamah Konstitusi membatalkan secara bersyarat frasa tertentu dalam Pasal 15 ayat (2) dan ayat (3) UU Jaminan Fidusia. Kreditor dapat berpijak pada Pasal 29 dan 30 UU Jaminan Fidusia. Pasal 29 mengatur tiga cara eksekusi benda jaminan fidusia. Pertama, pelaksanaan titel eksekutorial sebagaimana dimaksud Pasal 15 ayat (2). Kedua, penjualan benda yang menjadi objek jaminan fidusia atas kekuasaan penerima fidusia sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut. Ketiga, penjualan di bawah tangan yang dilakukan berdasarkan kesepakatan pemberi dan penerima fidusia jika dengan dengan cara ini dapat diperoleh harga tertinggi yang menguntungkan para pihak.

Tags:

Berita Terkait