Eksekusi Objek Jaminan Fidusia Sulit? Begini Solusi yang Ditawarkan
Utama

Eksekusi Objek Jaminan Fidusia Sulit? Begini Solusi yang Ditawarkan

Diduga ada kesalahan pemahaman atas parate eksekusi dan eksekusi riil titel eksekutorial.

Muhammad Yasin
Bacaan 2 Menit
Teddy Anggoro (kiri, berkemeja putih) dan D.Y. Witanto (kanan). Foto: RES
Teddy Anggoro (kiri, berkemeja putih) dan D.Y. Witanto (kanan). Foto: RES

Aksi penarikan motor oleh debt collector di jalanan masih terjadi. Padahal, putusan Mahkamah Konstitusi pada 6 Januari 2020 lalu sudah memperingatkan tentang tindakan sewenang-wenang, ancaman fisik, atau ancaman psikis yang dilakukan kreditor atau kuasanya. Putusan Mahkamah Konstitusi tidak melarang penarikan jaminan fidusia jika debitor melakukan wanprestasi. Cuma, Mahkamah menyatakan jika debitor tidak sukrela menyerahkan objek jaminan fidusia, kreditor harus mengajukan permohonan eksekusi ke pengadilan.

Implikasi putusan ini masih menimbulkan prokontra di kalangan akademisi hukum, perusahaan pembiayaan, dan perbankan. Apakah penarikan kendaraan bermotor oleh debt collector seperti yang acapkali terjadi tetap dimungkinkan? Akademisi Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Teddy Anggoro, mengusulkan agar Pemerintah, khususnya Kementerian Hukum dan HAM, ikut membantu eksekusi jaminan fidusia.

“Kementerian Hukum dan HAM seharusnya membantu eksekusi,” ujarnya saat jadi pembicara workshop hukumonline bertema ‘Wanprestasi dan Eksekusi Objek Jaminan Fidusia: Best Practice Setelah Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU-XVII/2019’ di Jakarta, Rabu (19/2).

(Baca juga: MK: Eksekusi Jaminan Fidusia untuk Menghindari Kesewenangan Kreditor).

Usulan Teddy bukan tanpa dasar. Selama ini, yang menerima manfaat terbesar Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari pendaftaran sertifikat fidusia adalah Kementerian Hukum dan HAM. Tetapi nyaris tidak ada bantuan Kementerian untuk membantu proses eksekusi jika kreditor mengalami kesulitan melakukan eksekusi objek jaminan fidusia. “Pemerintah jangan hanya terima uang untuk pendaftaran, tetapi juga membantu eksekusi,” saran pengajar Hukum Perikatan dan Jaminan pada Magister Kenotariatan FH UI itu.

Keikutsertaan aparat pemerintah melakukan eksekusi bukan dilarang sama sekali. Teddy mencontohkan jurusita pajak yang dikenal dalam UU No. 19 Tahun 2000 tentang Perubahah Atas UU No. 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa. UU ini memungkinkan pemerintah melaksanakan titel eksekutorial. Pasal 7 ayat (1) menyebutkan Surat Paksa yang disertai irah-irah Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa mempunyai kekuatan eksekutorial dan kedudukan hukum yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Pasal 10 ayat (1) UU yang sama melanjutkan “mengingat surat paksa mempunyai kekuatan eksekutorial, maka pemberitahuan kepada penunggak pajak oleh Jurusita Pajak dilaksanakan dengan cara membacakan isi Surat Paksa, dan kedua belah pihak menandatangani Berita Acara sebagai pernyataan bahwa Surat Paksa telah diberitahukan.

Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan No. 24/PMK.03/2003, Menteri Keuangan memberikan mandate atau menunjuk Kepala Kantor Pelayanan Pajak sebagai pejabat penagihan pajak-pajak pusat, sehingga ia berwenang mengangkat, melantik dan mengambil sumpah Jurusita Pajak Negara.

Melibatkan Kementerian Hukum dan HAM merupakan salah satu solusi yang ditawarkan Teddy untuk mengatasi problem eksekusi jaminan fidusia yang timbul di lapangan. Ketimbang melibatkan debt collector, Teddy menilai melibatkan aparat pemerintah lebih pas. Pasal 30 UU No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia menyebutkan pemberi fidusia wajib menyerahkan benda yang menjadi objek jaminan fidusia dalam rangka pelaksanaan eksekusi jaminan fidusia. Penjelasan pasal ini memberikan hak kepada penerima fidusia untuk mengambil benda yang menjadi objek jaminan fidusia dan jika perlu dapat meminta bantuan pihak yang berwenang. Jika hendak memberikan kewenangan kepada Kementerian Hukum dan HAM untuk membantu eksekusi, maka harus ada perubahan pada UU Jaminan Fidusia.

Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final dan mengikat. Imbas putusan UU Jaminan Fidusia adalah kemungkinan banyaknya permohonan eksekusi jaminan fidusia ke pengadilan. Hakim yustisial pada Mahkamah Agung, D.Y. Witanto mengatakan pada dasarnya pengadilan siap untuk menerima permohonan karena secara normatif pengadilan tidak boleh menolak perkara yang masuk. Cuma, beban pengadilan saat ini juga sudah banyak. “Eksekusi melalui pengadilan bukan solusi,” ujarnya.

(Baca: MK Tutup Ruang Debt Collector?).

Sita eksekusi terhadap benda bergerak bukan perkara mudah. Pengadilan terikat pada kompetensi relative, sebaliknya debitor dapat memindahkan benda bergerak sewaktu-waktu. Lagipula, proses eksekusi melalui pengadilan relatif panjang karena harus memenuhi prosedur eksekusi sebagaimana diatur dalam HIR/RBg (Hukum Acara Perdata). Dan, yang tak penting, objek jaminan pada umumnya bernilai kecil sehingga akan habis oleh pembayaran biaya eksekusi dan biaya pajak.

Kesalahan Memahami

Teddy menduga ada kesalahan pemahaman tentang eksekusi jaminan fidusia dalam pertimbangan Mahkamah Konstitusi. Pada bagian pertimbangan, Mahkamah Konstitusi menyatakan ketentuan dalam norma Pasal 15 ayat (3) merupakan lanjutan dari ketentuan norma Pasal 15 ayat (2) UU No. 42 Tahun 1999. Secara substansial, itu merupakan konsekuensi yuridis akibat adanya ‘titel eksekutorial’ dan ‘dipersamakannya sertifikat jaminan fidusia dengan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap’. Padahal, jelas Teddy Anggoro, ada perbedaan kedua pasal tersebut. Pasal 15 ayat (1) dan ayat (2) mengatur tentang eksekusi riil titel eksekutorial; sedangkan Pasal 15 ayat (3) mengatur tentang parate eksekusi.

Mahkamah juga mempertimbangkan bahwa apabila pemberi hak fidusia (debitor) tidak mengakui adanya cidera janji atau wanprestasi dan keberatan menyerahkan objek jaminan fidusia secara sukarela, maka penerima jaminan fidusia (kreditor) tidak boleh melakukan eksekusi sendiri melainkan harus mengajukan permohonan pelaksanaan eksekusi ke pengadilan negeri.

Di sinilah, Teddy menduga, pemahaman Mahkamah tercampur mengenai cara eksekusi jaminan fidusia yang diberikan Undang-Undang. “Kalau eksekusi riil titel eksekutorial memang harus sesuai Pasal 224 HIR, yakni melalui pengadilan," tegasnya.

Pemaknaan Pasal 15 ayat (2) UU Jaminan Fidusia dapat menimbulkan masalah. Sebab, jika dibaca pertimbangan Mahkamah Konstitusi tersirat bahwa penentuan cidera janji harus disepakati kreditor dan debitor pada saat objek jaminan akan dieksekusi. Padahal, pada awal perjanjian sudah disepakati hak dan kewajiban beserta kriteria wanprestasi.

Teddy berpendapat kreditor tetap dapat melakukan eksekusi meskipun Mahkamah Konstitusi membatalkan secara bersyarat frasa tertentu dalam Pasal 15 ayat (2) dan ayat (3) UU Jaminan Fidusia. Kreditor dapat berpijak pada Pasal 29 dan 30 UU Jaminan Fidusia. Pasal 29 mengatur tiga cara eksekusi benda jaminan fidusia. Pertama, pelaksanaan titel eksekutorial sebagaimana dimaksud Pasal 15 ayat (2). Kedua, penjualan benda yang menjadi objek jaminan fidusia atas kekuasaan penerima fidusia sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut. Ketiga, penjualan di bawah tangan yang dilakukan berdasarkan kesepakatan pemberi dan penerima fidusia jika dengan dengan cara ini dapat diperoleh harga tertinggi yang menguntungkan para pihak.

Tags:

Berita Terkait