Dua Profesor Ini Sebut Perma Pemidanaan Perkara Tipikor Batasi Kemandirian Hakim
Utama

Dua Profesor Ini Sebut Perma Pemidanaan Perkara Tipikor Batasi Kemandirian Hakim

Disarankan Perma Pedoman Pemidanaan Perkara Korupsi ini dicabut karena selain potensi menggangu keyakinan hakim dan tidak memberi rasa keadilan, juga materi muatannya seharusnya diatur dalam revisi UU Pemberantasan Tipikor.

Aida Mardatillah
Bacaan 2 Menit

Dia menilai setiap orang melakukan yang melakukan kejahatan (korupsi) itu dilatarbelakangi banyak faktor dan dan hakim bebas mempertimbangkan menjatuhkan putusan. Baginya, jika pedoman penjatuhan hukuman seperti yang termuat dalam Perma Pedoman Pemidanaan Tipikor ini, hilanglah ruang pijak hakim untuk mengadili perkara yang bersifat manusiawi.

“Dasar penyusunan Perma ini sungguh berbeda dengan politik hukum penyusunan UU Pemberantasan Tipikor. Dalam Pasal 2 dan Pasal 3 UU Pemberantasan Tipikor, korupsi yang merugikan keuangan negara tidak disebutkan passing grade-nya. Ini kok MA menentukan sekian-sekian passing grade-nya?”

Pasal 2

(1) Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

(2) Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.

Pasal 3

Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Menurutnya, Pasal 2 dan Pasal UU Pemberantasan Tipikor sudah cukup memberi pedoman pemidanaan agar tidak terjadi disparitas putusan. Sebab, kedua pasal itu sudah mengatur pidana minimum dan maksimum. “Karena di KUHP tidak ada, maka dibuat Pasal 2 UU Tipikor. Artinya, ruang disparitas dikurangi. Kalau diberi ruang disparitas lagi, ini sama saja membelenggu (kemandirian, red) hakim dalam memberi keadilan dalam kasus tertentu. Perma ini berarti keadilan bersifat general,” kata dia.

Apabila sudah ada batasan, kategori dalam memutus berat ringannya hukuman sekian tahun, hakim seolah sudah tidak punya pertimbangan sendiri. “Kalau seperti ini tidak perlu lagi ada sidang, tinggal lihat saja tabel di Perma kerugiannya berapa, hukumannya sekian. Capek-capek sidang juga nanti pasti dihukum segitu. Ini kan rasanya jadi kurang tepat ya,” kritiknya.

Mudzakir menyarankan sebaiknya Perma ini dicabut saja karena potensi tidak memberikan rasa keadilan. “Keadilan seorang terdakwa itu bukan kalkulasi, tapi adil itu menggunakan rasa (keyakinan) dari diri hakim!”

Harus dengan UU

Senada, Guru Besar Hukum Pidana Universitas Padjajaran Prof Romli Atmasasmita menilai dalam sistematika peraturan perundang-undangan kedudukan Perma ada di bawah UU. Karena materinya di bawah UU, maka Perma sejatinya tidak boleh melampaui batas-batas UU. “Dalam UU Pemberantasan Tipikor kan sudah ada batasan kerugian negara sekian-sekian. Seharusnya sebagai Perma itu hanya mengisi kekosongan hukum. Mengenai disparitas, itu harus diatur melalui UU,” kata Romli mengingatkan.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait