Drama Hukum dan Regulasi di Indonesia, Surga Bagi Dewa Moira
Ahmad Rosadi Harahap*

Drama Hukum dan Regulasi di Indonesia, Surga Bagi Dewa Moira

Pendapat Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN), Prof. Romli Atmasasmita, bahwa "Akomodasi Asing, Proses Legislasi Abaikan Kepentingan Bangsa Sendiri" (Hukumonline, 18 Juni 2003) melahirkan beberapa tanggapan kritis mengenai perlu-tidaknya hukum persaingan usaha bagi pembangunan nasional. Diantaranya yang menanggapi adalah Dr. jur. M. Udin Silalahi, SH, LL.M, (hukumonline,18 Juli 2003) dan HMBC Rikrik Rizkiyana (hukumonline, 28 Agustus 2003).

Bacaan 2 Menit

Dalam perlombaan tersebut, para oportunis menyalib di sana-sini dalam rangka kepentingan dan keuntungan sesaat hingga menyebabkan polynormativism dan legal synchretism dalam sistem hukum nasional yang dengan cengeng ditangisi oleh Kepala BPHN, Prof. Romli Atmasasmita, tersebut.

Salah satunya mungkin Prof. Romli Atmasasmita sendiri, yang seingat saya adalah pejabat Dirjen Kumdang saat perumusan dan pengundangan UU No. 5 Tahun 1999. Mungkinkah seorang sarjana hukum berbeda tugas intelektualnya ketika menjadi seorang Dirjen Kumdang dan ketika menjadi seorang Kepala BPHN?

Hukum sebagai a minimal tool

UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (UU No.5/1999) memiliki konstruksi berpikir yang paralel dengan NIE. Dalam perspektif NIE terdapat dua konsep kunci, yakni lingkungan institusional (institutional environment) dan pengaturan institutional (institutional arrangements).

Yang pertama, merupakan framework dimana tindakan manusia dilakukan. Institusi ini dibutuhkan untuk mengurangi ketidakpastian karena ia menyediakan struktur tata-tindak bagi kehidupan sehari-hari dan menentukan sekaligus membatasi seperangkat pilihan (a set of choices) yang boleh diambil oleh individu (Douglass C. North, 1990;3-4). Lingkungan institutional ini dipagari antara lain oleh aturan hukum, norma sosial dan kebiasaan masyarakat.

Sedangkan yang kedua, yakni pengaturan institusional merupakan pengaturan-pengaturan yang dilakukan oleh individu untuk mengatur hubungan di antara mereka sendiri sepanjang tidak keluar dari pagar-pagar lingkungan institusional.  Pada institusi yang kedua ini hubungan kontraktual antar para pelaku usaha diakomodasikan untuk kepentingan bisnis mereka, sepanjang tidak bertentangan dengan aturan hukum, norma sosial dan kebiasaan masyarakat yang hidup pada institutional environment.

Untuk menghasilkan keunggulan komparatif institusional, pendekatan transaction costs menjadi aspek penting dalam perumusan suatu kebijakan (Ronald H. Coase; 1988; 174-79). Norma-norma dan kaedah-kaedah hukum harus dirumuskan melalui analisis transaction costs. Hukum melakukan kontrak sosial minimal terhadap mekanisme pasar sesuai prinsip Pareto (mensubsidi pihak yang lemah tanpa merugikan pihak yang diuntungkan), karena memang tidak ada pasar yang sempurna.

Costs yang timbul dari kegagalan pasar inilah yang dapat diatur oleh hukum dan regulasi. Di sinilah letak kepercayaan Dr. jur. M. Udin Silalahi, SH, LL.M dan HMBC Rikrik Rizkiyana terhadap manfaat instrumen hukum persaingan usaha dalam sistem hukum nasional keseluruhan.

Tags: