Drama Hukum dan Regulasi di Indonesia, Surga Bagi Dewa Moira
Ahmad Rosadi Harahap*

Drama Hukum dan Regulasi di Indonesia, Surga Bagi Dewa Moira

Pendapat Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN), Prof. Romli Atmasasmita, bahwa "Akomodasi Asing, Proses Legislasi Abaikan Kepentingan Bangsa Sendiri" (Hukumonline, 18 Juni 2003) melahirkan beberapa tanggapan kritis mengenai perlu-tidaknya hukum persaingan usaha bagi pembangunan nasional. Diantaranya yang menanggapi adalah Dr. jur. M. Udin Silalahi, SH, LL.M, (hukumonline,18 Juli 2003) dan HMBC Rikrik Rizkiyana (hukumonline, 28 Agustus 2003).

Bacaan 2 Menit

Apakah benar demikian?

Berdasarkan UU No. 5 /1999, KPPU diberi kewenangan penuh untuk mengawasi hubungan kontraktual yang terjadi di dalam aras institutional arrangements antar pelaku usaha yang menyimpang dari institutional environment sebagaimana diatur di dalam Pasal 36 UU No. 5 Tahun 1999. Sedangkan kewenangan KPPU dalam aras institutional environment hanya sebatas memberikan saran dan pertimbangan kepada Pemerintah berdasarkan Pasal 35 huruf e UU No. 5 Tahun 1999.

 

Dari data perkara yang dilaporkan ke KPPU hingga akhir 2002, KPPU telah menangani 49 perkara dengan rincian sekitar 50% mengenai tender yang sebagian besar melibatkan pemerintah. Sekitar 20% timbul dari kebijakan pemerintah yang bersifat anti-persaingan.

 

Data tersebut menggambarkan bahwa laporan masyarakat kepada KPPU mayoritas terjadi pada aras institutional environment. Hanya sekitar 30% yang bersifat murni swasta dan itupun dilakukan dalam bentuk kartel, praktek monopoli, dan penyalahgunaan posisi dominan oleh perusahaan-perusahaan yang memiliki economic of scale hasil peliharaan kebijakan masa pemerintahan Orde Baru.

Dari data tersebut, dapat disimpulkan beberapa hal. Pertama, kerapuhan fondasi ekonomi nasional bukan terletak pada kerdilnya jiwa persaingan usaha nasional. Kesimpulan ini secara empirik konsisten dengan daya tahan persaingan pelaku usaha menengah dan kecil yang relatif belum sepenuhnya terintegrasi dengan sistem globalisasi.

Dalam aras institutional arrangements, hubungan kontraktual pelaku usaha menengah dan kecil relatif tetap tidak terganggu dibandingkan dengan yang dihadapi oleh para pelaku usaha besar. Sebabnya, karena adanya perubahan institutional environment akibat reformasi sehingga pelaku usaha besar dipaksa untuk mencari patron-patron capitalism baru seiring perubahan kekuasaan transisional di era reformasi saat ini.

Kedua, upaya untuk mendirikan sebuah tembok institusi baru (reformasi) tidak akan pernah selesai melalui kerja bongkar-pasang batu bata yang dianggap sudah lumutan bagi kepentingan kelompok atau kepentingan jangka pendek maupun lewat penanganan perkara (case by case) seperti yang dilakukan oleh KPPU.

Demi tercapainya kebijakan publik yang berparadigma  stakeholders-fairness-efficiency, mutlak diperlukan institutional environment yang kondusif bagi hubungan kontraktual institutional arrangements. Dalam konteks hukum persaingan usaha, tanpa adanya competition value sebagai tafsir resmi dari penguasa terhadap Pasal 33 Konstitusi UUD 1945, yang kemudian diturunkan lewat competition policy dan competition institution oleh pemerintah lewat competition law enforcement oleh KPPU, maka pada aras institutional arrangements akan selamanya tidak mampu menghasilkan hubungan kontraktual yang akan menguatkan civil society yang melek ketika menilai manfaat persaingan dalam menjalankan bisnisnya.

Tags: