DPR Seharusnya Tak Perlu Ikut Bahas RAPBN
Berita

DPR Seharusnya Tak Perlu Ikut Bahas RAPBN

Cukup menyetujui dan mengawasi penggunaan APBN saja.

ASH
Bacaan 2 Menit

Pola seperti ini, lanjut Saldi, sebenarnya tidak jauh berbeda dengan pola pengajuan RAPBN yang terjadi saat zaman orde baru. Walaupun praktiknya dianggap berbeda, tetapi tetap sama saja.

“Hari ini korupsi sangat masif di lembaga perwakilan rakyat. Nanti kita memaksa DPR memperkuat pada fungsi pengawasan. Kalau sekarang ini, pengawasan terabaikan,” tegasnya.

Permohonan ini diajukan Tim Advokasi Penyelamat Keuangan Negara yang mempersoalkan kewenangan Banggar lewat uji materi sejumlah pasal dalam dalam UU No. 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, DPRD (MD3) dan UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Tercatat sebagai pemohon yakni ICW, YLBHI, Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA), Indonesia Budget Center (IBC), PUSAKO Universitas Andalas, dan PUKAT UGM.

Spesifik, mereka menguji delapan pasal yakni Pasal 104 dan Pasal 105 ayat (1), Pasal 107 ayat (1) huruf e,  Pasal 157 ayat (1), Pasal 159 ayat (5), Pasal 71 huruf g, Pasal 156 huruf a, b, dan c angka 2, Pasal 161 ayat (4), (5) UU MD3 dan Pasal 15 ayat (5) UU Keuangan Negara.

Mereka menilai pasal-pasal itu membuka celah terjadinya tindak pidana korupsi setiap kali pembahasan anggaran oleh DPR. Pasalnya, kewenangan DPR yang begitu besar melalui fungsi anggaran di Banggar sangat mudah untuk memainkan berbagai proyek yang berkaitan dengan kepentingan partainya.

Tak hanya itu, mereka menganggap kewenangan Banggar dalam membahas Rancangan Undang-Undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) atau APBN Perubahan dinilai tidak tepat dan mempermudah gerak mafia dalam Banggar. Seperti, membahas proyek negara melalui pembahasan APBNP yang menguntungkan partai politik. Hal ini terlihat dari beberapa kasus yang mencuat di permukaan seperti kasus wisma atlit, Kemendiknas, dan Pengadaan Al-Qur’an.

Dalam permohonannya, pemohon meminta MK membatalkan dan  menafsirkan pasal-pasal dalam kedua undang-undang itu atau dinyatakan konstitusional bersyarat. Misalnya, Pasal 104 sepanjang frasa “yang bersifat tetap” dan Pasal 105 ayat (1) sepanjang frasa “pada permulaan masa keanggotaan DPR dalam UU MD3 bertentangan dengan Pasal 23 ayat (1) UUD 1945. Selain itu, Pasal 107 ayat (1) huruf e UU MD3 dinyatakan konstitusional bersyarat sepanjang memenuhi syarat Banggar tidak mempunyai kewenangan membahas RAPBN yang belum dibahas komisi-komisi terkait di DPR dan kementerian atau lembaga.

Tags: