DPR Seharusnya Tak Perlu Ikut Bahas RAPBN
Berita

DPR Seharusnya Tak Perlu Ikut Bahas RAPBN

Cukup menyetujui dan mengawasi penggunaan APBN saja.

ASH
Bacaan 2 Menit
DPR Seharusnya Tak Perlu Ikut Bahas RAPBN
Hukumonline

Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Andalas, Prof Saldi Isra mengatakan kewenangan DPR untuk turut membahas, mengawasi, dan menyetujui Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) melalui Badan Anggaran (Banggar) DPR harus dipangkas.

Menurutnya, lembaga legislasi itu cukup menyetujui dan mengawasi saja. Soalnya, yang mengetahui secara rinci kegunaan RAPBN tersebut adalah pemerintah. Sementara DPR lebih dalam posisi sebagai wakil rakyat yang mengetahui arah penyusunan anggaran dalam satu tahun ke depan.

“Pemerintah yang mengetahui secara detail item-item pendapatan negara dan program-program  yang mesti dilakukan untuk memajukan kesejahteraan rakyat. Harusnya lembaga legislatif tanpa harus ikut membahas. Jauh lebih aman kalau itu terpisah,” ujar Saldi saat memberikan keterangan lewat telekonferens dari Universitas Andalas Padang, dalam sidang lanjutan pengujian UU Keuangan Negara dan UU MD3, Kamis (25/7). 

Saldi mengatakan kalau fungsi keuangan diberikan kepada eksekutif, lalu legislatif mengawasinya sangat mungkin akan terjadi kerja sama (kolaborasi) antara DPR dan  kelompok masyarakat secara baik. “Jika demikian, tentunya posisi DPR dalam membahas RAPBN hanya sampai pada tingkat memeriksa. Apakah anggaran yang diajukan pemerintah telah sesuai dengan kebijakan makro yang dtetapkan?” kata Saldi

Dia menilai pola pengajuan dan pembahasan yang sekarang dianut Indonesia merusak sistem ketatanegaraan dalam sistem pemerintahan presidensial. Sebab dalam sistem presidensial, ada pemisahan yang jelas antara pemegang kekuasaan eksekutif dan legislatif.

Ahli yang sengaja dihadirkan pemohon ini menuturkan Pasal 23 UUD 1945 yang menyatakan pengusulan RAPBN hanya berasal dari pemerintah, tidak pernah ada inisiatif DPR. Sekalipun dinyatakan tetap dibahas  oleh pemerintah dan DPR, tetapi Pasal 23 ayat (2) UUD 1945 itu tidak diletakan dalam pasal proses legislasi biasa, seperti Pasal 20 UUD 1945. 

“Itu berbeda dengan wilayah legislasi biasa. Menurut saya, kalau ini dipertahankan terus menerus maka satu sama lain tidak bisa menjalankan fungsi secara benar dan jangka panjang bisa menyebabkan kolutif antara keduanya (eksekutif dan legislatif),” terangnya.

Pola seperti ini, lanjut Saldi, sebenarnya tidak jauh berbeda dengan pola pengajuan RAPBN yang terjadi saat zaman orde baru. Walaupun praktiknya dianggap berbeda, tetapi tetap sama saja.

“Hari ini korupsi sangat masif di lembaga perwakilan rakyat. Nanti kita memaksa DPR memperkuat pada fungsi pengawasan. Kalau sekarang ini, pengawasan terabaikan,” tegasnya.

Permohonan ini diajukan Tim Advokasi Penyelamat Keuangan Negara yang mempersoalkan kewenangan Banggar lewat uji materi sejumlah pasal dalam dalam UU No. 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, DPRD (MD3) dan UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Tercatat sebagai pemohon yakni ICW, YLBHI, Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA), Indonesia Budget Center (IBC), PUSAKO Universitas Andalas, dan PUKAT UGM.

Spesifik, mereka menguji delapan pasal yakni Pasal 104 dan Pasal 105 ayat (1), Pasal 107 ayat (1) huruf e,  Pasal 157 ayat (1), Pasal 159 ayat (5), Pasal 71 huruf g, Pasal 156 huruf a, b, dan c angka 2, Pasal 161 ayat (4), (5) UU MD3 dan Pasal 15 ayat (5) UU Keuangan Negara.

Mereka menilai pasal-pasal itu membuka celah terjadinya tindak pidana korupsi setiap kali pembahasan anggaran oleh DPR. Pasalnya, kewenangan DPR yang begitu besar melalui fungsi anggaran di Banggar sangat mudah untuk memainkan berbagai proyek yang berkaitan dengan kepentingan partainya.

Tak hanya itu, mereka menganggap kewenangan Banggar dalam membahas Rancangan Undang-Undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) atau APBN Perubahan dinilai tidak tepat dan mempermudah gerak mafia dalam Banggar. Seperti, membahas proyek negara melalui pembahasan APBNP yang menguntungkan partai politik. Hal ini terlihat dari beberapa kasus yang mencuat di permukaan seperti kasus wisma atlit, Kemendiknas, dan Pengadaan Al-Qur’an.

Dalam permohonannya, pemohon meminta MK membatalkan dan  menafsirkan pasal-pasal dalam kedua undang-undang itu atau dinyatakan konstitusional bersyarat. Misalnya, Pasal 104 sepanjang frasa “yang bersifat tetap” dan Pasal 105 ayat (1) sepanjang frasa “pada permulaan masa keanggotaan DPR dalam UU MD3 bertentangan dengan Pasal 23 ayat (1) UUD 1945. Selain itu, Pasal 107 ayat (1) huruf e UU MD3 dinyatakan konstitusional bersyarat sepanjang memenuhi syarat Banggar tidak mempunyai kewenangan membahas RAPBN yang belum dibahas komisi-komisi terkait di DPR dan kementerian atau lembaga.

Tags: