DPR Ingin Rombak Konsep UU Perjanjian Internasional
Berita

DPR Ingin Rombak Konsep UU Perjanjian Internasional

Salah satunya ingin mencampuradukan hukum privat internasional dan hukum publik internasional.

Ali
Bacaan 2 Menit

 

Harry kembali menegaskan bahwa kontrak internasional yang bersifat perdata memang tak masuk ke dalam ruang lingkup UU ini. Ia mengakui bila dalam kasus Freeport atau Newmont ada kepentingan publik yang bersinggungan, tetapi menurutnya kurang tepat bila wilayah privat dicampuradukan ke dalam wilayah publik dalam satu undang-undang.

 

“Itu bisa masuk ke UU Pertambangan atau UU Migas. Dua UU itu yang seharusnya yang disempurnakan karena di situlah diaturnya persoalan kontrak Indonesia dengan perusahaan asing,” tegasnya.

 

Dasar UUD 1945

Anggota Baleg dari PKS Bukhori Yusuf justru berpendapat sebaliknya. Ia menunjuk Pasal 11 Ayat (1) dan Ayat (2) UUD 1945 sebagai dasar hukumnya. Pasal 11 ayat (1) menyatakan ‘Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain’. Ia menilai ketentuan ini berbicara hukum publik.

 

Sedangkan, Pasal 11 ayat (2) lebih berbicara masalah perdata. Yakni, ‘Presiden dalam membuat perjanjian internasional lainnya yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara, dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan UU harus dengan persetujuan DPR’.

 

“Kenapa persoalan privat dan publik itu tak bisa digabung? Padahal, UUD 1945 mengamanatkan keduanya,” jelas Bukhori.

 

Harry mengakui bila UU Perjanjian Internasional yang ada sekarang hanya mengakomodir Pasal 11 ayat (1) itu. Sedangkan, Pasal 11 ayat (2) yang bersifat perdata tak diatur dalam UU ini. Namun, Harry keukeuh dua sifat hukum perdata dan publik itu tak bisa disatukan. “Kan bisa diatur ke dalam UU yang lain,” pungkasnya.

Tags: