DPR Dorong Kejaksaan Serius Bereskan Pembalakan Liar
Berita

DPR Dorong Kejaksaan Serius Bereskan Pembalakan Liar

DPR sudah sedikit adem menyikapi lanjutan kasus jaksa Urip yang merembet ke sejumlah petinggi Kejaksaan Agung. Satu hal yang disorot tajam adalah janji penanganan kasus pembalakan liar.

NNC
Bacaan 2 Menit

 

Dalam rapat pada 28 Juni 2007 komisi hukum DPR antara lain bersepakat:

1.    Meminta Jaksa Agung dalam kasus illegal logging untuk meningkatkan koordinasi dengan Kepolisian, Departemen Kehutanan, PPNS (Penyidik Pegawai Negeri Sipil) Kehutanan, melaksanakan tugas dan fungsinya  masing-masing dalam kerangka integrated justice system, guna menyelesaikan secara tuntas perkara illegal logging sesuai hukum yang berlaku.

2.    Meminta Jaksa Agung dalam menyelesaikan kasus tindak pidana korupsi untuk meningkatkan koordinasi dengan BPK, BPKP, dan PPATK dalam kerangka  integrated justice system.

3.    Mendesak Jaksa Agung agar mengusut tuntas kasus eks BPPN/PT PPA yang berindikasi korupsi yang menimbulkan kerugian mencapai triliunan rupiah.

 

Mantan jurnalis ini dengan lantang menagih janji Hendarman. Waktu itu, Pak Hendarman nampak percaya diri, semangat sekali membahas illegal logging ini. Sekarang ini sudah setahun masih saja begini, cetusnya sembari membenturkan bundelan kertas itu ke atas meja. Menurutnya, illegal logging termasuk kejahatan luar biasa yang mesti diprioritaskan. Setahun lalu, kita  pernah berbicara pula di ruangan ini, mencoba untuk sebisa mungkin mengkaitkan illegal logging itu dengan korupsi, Panda mengingatkan.

 

Panda mencontohkan dalam kasus yang menimpa Bupati Pelalawan. Sejak lama kami mengharap pada Kejaksaan. Alasannya selalu sama. Bukti kurang, izin bupatilah, apalah. Begitu diambil KPK, beres itu. Disidangkan, barang buktinya jelas. Kenapa Kejaksaan nggak bisa yang seperti ini. Ini simpel kok! seloroh Panda.

 

Menjawab bombardir ini, Hendarman mengatakan, bolak-baliknya perkara acapkali disebabkan pemeriksaan penyidik terhadap ahli tidak mendalam. Untuk kasus illegal logging, ujarnya, Kejaksaan Agung mempunyai konstruksi hukum yang spesifik. Ini belajar dari pengalaman kasus Adelin Lis yang bebas lantaran didasarkan keterangan ahli dari Departemen Kehutanan semata. Ahli itu tidak dilakukan pemeriksaan secara mendalam, ujarnya.

 

Penyidik kepolisian, lanjutnya, lebih sering memeriksa ahli independen di luar Departemen Kehutanan semacam akademisi dari Bogor atau Surabaya. Ahli-ahli berdomisili jauh itu dimintai keterangan terkait kerusakan hutan di daerah luar Jawa. Padahal dalam hemat Hendarman, ahli  dari Departemen Kehutanan lebih layak. Yang mengetahui (hutan, red) itu rusak atau tidak, kan mereka. Siapa yang lebih bisa memberi keterangan rusak tidaknya hutan kalau bukan orang Kehutanan, terangnya.

 

Menyambung Hendarman, Abdul Hakim Ritonga malah  beralasan penanganan illegal logging berkaitan erat dengan perekonomian warga setempat. Penyitaan kayu, ujarnya, dikeluhkan oleh perusahaan karena telah mengancam nasib perekonomian perusahaan. Jaksa Agung Muda Pidana Umum (Jampidum) itu mengatakan, penyitaan barang bukti kayu, mengancam pabrik-pabrik pemakai bahan baku kayu jadi lesu dan stagnan. Dampak dari kelesuan ini secara tak langsung bisa menimbulkan keresahan pada masyarakat sekitar.

 

Hendarman juga tidak memungkiri jika kasus illegal logging ini sangat dekat dengan korupsi. Kejaksaan bisa pula menerapkan dakwaan berlapis untuk itu. Namun dari perkara yang ditangani, sepanjang perusahaan pemakai kayu hutan itu telah melengkapi legalitas pembabatan hutan, Kejaksaan tak bisa berbuat banyak. Kelengkapan itu antara lain telah membayar dana reboisasi (DN), Profesi Sumberdaya Hutan (PSDH), dan memiliki Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan (SKSHH).

Halaman Selanjutnya:
Tags: