DPR Cium Ada Permainan
Sengketa Tanah Meruya

DPR Cium Ada Permainan

Portanigra menjelaskan kisruh tanah di Meruya kepada Komisi II DPR. Anggota Dewan meminta eksekusi tidak dilaksanakan. Portanigra melunak dan tidak lagi mempersoalkan warga yang memperoleh sertifikat sebelum 1997.

KML/Ycb/IHW/CRP
Bacaan 2 Menit

 

Putusan Aneh

Priyo dan beberapa anggota dewan mempertanyakan isi putusan kasasi. Mustokoweni, anggota Komisi II DPR RI dari Fraksi Partai Golkar mempertanyakan kejanggalan dalam putusan.  Putusan kasasi memang memakai logika hukum. Tapi rupanya data dan keputusan sangat jauh berbeda. Saya yakin putusan ini ada yang salah. Makanya saya siap bantu warga yang akan digusur,  ujarnya

 

Kejanggalan yang dia maksud antara lain perbedaan nama Ketua majelis yang memutus perkara dari fotokopi yang dipegang Portanigra, dan salinan asli yang diterima DPR. Pasalnya, dalam copy yang dipegang Portanigra, terdapat nama Paulus Effendi Lotulung sebagai ketua Majelis sedangkan nama Paulus tidak terdapat dalam salinan yang dipegang DPR. Yan menjawab enteng Mungkin di PN salah ketik. Dihubungi terpisah Juru Bicara Mahkamah Agung (MA) Joko Sarwoko mengaku tidak tahu. Tahun 2000, Pak Paulus belum jadi Hakim Agung, ujarnya.

 

Selain perbedaan nama, Mustokoweni juga mempertanyakan adanya amar putusan yang menyatakan seseorang melakukan perbuatan melawan hukum sekaligus wanprestasi Meskipun untuk itu perlu diklarifikasi pungkas politisi Partai Golkar itu. Dalam hal ini, Joko menyatakan penggabungan pernyataan unsur ingkar janji (wanprestasi) dan perbuatan melanggar hukum ini bisa saja dilakukan. Jadi PMH ini bisa terjadi karena ingkar janji oleh pihak kedua sehingga melahirkan PMH jawabnya.

 

Duduk Perkara

Dalam berkas pembelaan yang dikeluarkannya, Portanigra mengaku secara sah berdiri sejak 3 April 1970 dan diumumkan dalam Berita Negara tanggal 10 Mei 1974 No.38, tambahan Berita Negara No.1 tahun 1986. PT yang juga sempat disebut-sebut sebagai perusahaan fiktif ini mengklaim telah menyesuaikan Anggaran Dasarnya dengan UU Perseroan Terbatas pada 19 Oktober 2000. Anggaran Dasar ini juga telah disetujui oleh Menteri Hukum dan HAM Pada 1 November 2001. 

 

Alkisah, pada tahun 1972 PT Portanigra membeli tanah dari warga Meruya Udik melalui Juhri bin Geni sebagai sebagai koordinator. Portanigra kemudian mengaku pasif menunggu keluarnya Surat Persetujuan Prinsip Pembebasan Lahan/Lokasi (SP3L) yang seharusnya diterbitkan oleh Gubernur DKI. Namun pada 1974, Juhri menjual kembali tanah tersebut kepada Pemda atas perintah dari Camat Kebon Jeruk. Rencananya tanah tersebut akan dijadikan tempat relokasi warga atas pembebasan banjir Kanal Barat oleh Pemda.

 

Atas perintah Camat itulah, Juhri menjual tanah tersebut kepada beberapa pihak, yakni Pemda (15 Ha) pada tahun 1974, PT Labarata (4 Ha) tahun 1974, Intercon (2 Ha) pada 1975, Copylas (2,5 Ha) pada 1975, Junus Djafar (2,2 Ha) pada 1975, serta tanah BRI (3,5 Ha) tahun 1977. Menurut Yan, setelah di kuasai Pemda DKI, ternyata Pemda menjual kembali tanah tersebut kepada perorangan.

 

Tidak jelas mulai kapan, Juhri terlibat perselisihan dengan Mohammad Yatim Tugono, seorang anggota TNI yang terlibat jual-beli, terkait penjualan kembali tanah. Perselisihan ini berujung pada penculikan Juhri. Mendapatkan laporan ini, Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Opstib-kesatuan polisi khusus bentukan Sudomo) turun tangan dan memeriksa permasalahan tersebut. Portanigra yang saat itu dilibatkan Opstib, menyerahkan girik mereka sebanyak 357 map untuk dijadikan bukti.

Tags: