Perdebatan kalangan abolisionis dan retensionis soal hukuman mati tak pernah berakhir. Namun perkembangan di komunitas global semakin meninggalkan hukuman mati. Melansir data Imparsial sebanyak 112 negara anggota PBB telah menghapus hukuman mati dan 36 negara tidak melakukan eksekusi (moratorium). Tersisa 55 negara yang masih menerapkan hukuman mati termasuk Indonesia.
Pengacara publik Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Masyarakat, Ma’ruf Bajammal mengatakan pemerintah telah mengubah penerapan hukuman mati melalui UU No.1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Nasional. Pengaturan itu diklaim pemerintah sebagai jalan tengah antara pro dan kontra hukuman mati yang berkembang di masyarakat.
KUHP Nasional mengatur hukuman mati tak lagi sebagai pidana pokok, tapi alternatif dengan komutasi 10 tahun. Ketentuan ini menunjukan pemerintah masih mempertahankan hukuman mati. Kebijakan ini membuat pemerintah terkesan aneh karena seolah mau melindungi warga negara Indonesia (WNI) yang terancam hukuman mati di luar negeri. Data Kementerian Luar Negeri Indonesia mencatat ada 165 WNI di luar negeri yang terjerat pidana mati.
“Mungkin pemerintah mau menegakkan mandat konstitusi untuk melindungi WNI tapi setengah hati. Jadinya aneh karena di dalam negeri masih menerapkan hukuman mati tapi di luar negeri mau membela WNI yang dikenakan hukuman mati,” kata Ma’ruf dalam diskusi bertema bertema ‘165 WNI yang Terancam Hukuman Mati di Luar Negeri dan Aturan Turunan KUHP Terkait Hukuman Mati,’ Minggu (30/6/2024) kemarin.
Baca juga:
- Vonis Pidana Mati Banyak Terjadi di Era Pemerintahan Jokowi
- Masih Menyisakan Masalah, Pasal Hukuman Mati Diusulkan Dihapus dari KUHP
- Menilik Mekanisme Pidana Mati dalam KUHP Baru
Hukum internasional mengatur secara ketat pidana mati. Selain itu, Ma’ruf menyebut Pasal 6 Kovenan Sipil dan Politik (ICCPR) memandatkan untuk menghapus hukuman mati secara berkala. Hukuman mati masih diakui secara terbatas untuk pidana yang bersifat paling serius (the most serious crime) antara lain kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang.
Tapi praktiknya di Indonesia hukuman mati paling banyak menyasar kasus narkotika. Padahal kejahatan narkotika secara internasional tergolong kejahatan luar biasa, bukan the most serious crime. Celakanya di Indonesia pidana narkotika dianggap sebagai the most serious crime.