Dinilai Cacat Formil-Materil, Presiden Diminta Terbitkan Perppu Pembatalan UU Cipta Kerja
Berita

Dinilai Cacat Formil-Materil, Presiden Diminta Terbitkan Perppu Pembatalan UU Cipta Kerja

Karena banyak substansi dalam UU Cipta Kerja yang merugikan buruh, seperti pengurangan jumlah penghitungan kompensasi pesangon, PKWT, outsourcing, dan upah.

Ady Thea DA
Bacaan 4 Menit

Dia menyoroti sedikitnya ada 5 ketentuan dalam draf final RUU Cipta Kerja. Pertama, Pasal 88C tentang pengaturan upah minimum menjadi wajib ditetapkan oleh Gubernur, tapi upah minimum kabupaten/kota (UMK) dapat ditetapkan Bupati/Walikota. Kata “dapat” dalam ketentuan itu dapat diartikan UMK sifatnya tidak wajib untuk ditetapkan. Hal ini berpotensi mengurangi nilai upah, sehingga mengancam penurunan kesejahteraan dan daya beli pekerja.

Kedua, Pasal 151 dan Pasal 151A tentang prosedur dan mekanisme pemutusan hubungan kerja (PHK) dibuat lebih longgar, dan kompensasi PHK dikurangi dengan cara menghapus ketentuan 15 persen uang penggantian hak. Ketentuan tentang alasan dan perhitungan kompensasi PHK sebagaimana diatur dalam beberapa pasal UU No.13 Tahun 2003 juga ikut dihapus dan pengaturannya akan dilakukan lewat Peraturan Pemerintah (PP).

“Ketentuan ini menunjukkan turunnya tingkat perlindungan buruh yang mengalami PHK. Praktik yang akan terjadi setelah RUU Cipta Kerja ini diundangkan yakni mudah merekrut, dan memecat buruh (easy hiring, easy firing),” bebernya.

Ketiga, Pasal 42-49 yang mengatur penggunaan tenaga kerja asing (TKA) lebih dipermudah. Misalnya, Pasal 42 menghapus kewajiban izin tertulis bagi pemberi kerja yang mempekerjakan TKA, dan menggantinya dengan kewajiban memiliki rencana penggunaan TKA (RPTKA). Menurut Tavip, ketentuan ini menunjukkan sikap yang tidak berpihak pada penciptaan lapangan kerja dan melemahkan perlindungan bagi pekerja Indonesia.

Keempat, Pasal 78 tentang jam kerja lembur menjadi lebih panjang yang sebelumnya hanya 3 sekarang menjadi 4 jam sehari. Kelima, Pasal 46A dan Pasal 82 tentang Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) yang diselenggarakan melalui BPJS Ketenagakerjaan. Pengaturannya dalam RUU Cipta Kerja berpotensi menurunkan imbal hasil program Jaminan Hari Tua (JHT) buruh pada saat ketentuan ini diatur lanjut dalam PP.

Atas dasar itu, Tavip menyebut UU Cipta Kerja cacat formil dan materiil serta bertentangan dengan konstitusi dan TAP MPR No.XVI/MPR/1998 tentang Politik Ekonomi Dalam Rangka Demokrasi Ekonomi. Selain itu, RUU ini tidak berpihak dan tidak melindungi buruh Indonesia, juga tidak menjamin terciptanya lapangan kerja yang layak bagi rakyat Indonesia. Tavip meminta Presiden Jokowi menerbitkan Perppu untuk membatalkan UU Cipta Kerja. Jika ini tidak dilakukan, KRPI akan mengajukan uji materi ke MK.

Liberalisasi pangan

Selain Ketenagakerjaan, UU Cipta Kerja juga mengancam pemenuhan hak atas pangan di Indonesia. Ketua Dewan Nasional FIAN Indonesia, Laksmi Adriani Savitri, menilai UU Cipta Kerja mengadopsi agenda liberalisasi pangan yang memperkuat industrialisasi pertanian dan rantai pangan global. “Skema liberalisasi ini, bukan hanya petani menjadi semakin tidak berdaulat atas tanahnya sendiri, tetapi kita sebagai konsumen turut direntankan dengan pilihan-pilihan pangan kita,” kata dia.

Tags:

Berita Terkait