“Saya khawatir Instruksi Mendagri ini berkaitan dengan situasi politik kekinian, khususnya di DKI Jakarta,” kata Feri Amsari saat dihubungi Hukumonline, Kamis (19/11/2020). (Baca Juga: Jika Langgar Protokol Kesehatan, Calon Kepala Daerah Bisa Dijerat Pidana)
Dia menerangkan Mendagri tidak bisa dengan mudah menjatuhkan sanksi pemberhentian terhadap kepala daerah, seperti gubernur/bupati/walikota. Seorang kepala daerah bisa diberhentikan sementara jika melakukan tindak pidana dan melalui DPRD (proses politik).
“Mendagri bukanlah ujung dari pemberhentian, dan MA adalah ujung akhir proses pemberhentian kepala daerah,” kata Feri.
Secara garis besar, UU Pemda mengatur dua jalur pemberhentian kepala daerah. Pertama, pemberhentian melalui usulan DPRD yang melibatkan Mahkamah Agung (MA). Kedua, pemberhentian langsung dengan Keputusan Presiden untuk Gubernur dan Keputusan Mendagri untuk Bupati/Walikota, bila kepala daerah yang bersangkutan melakukan tindak pidana tertentu (berat) sejak berstatus terdakwa. Hal itu diatur Pasal 83 UU Pemda.
Pasal 83 UU Pemda
|
Sementara, untuk mekanisme pemberhentian melalui usulan DPRD, dapat dilihat dalam Pasal 79, 80, 81, dan 82 UU Pemda. Pemberhentian melalui usulan DPRD dapat dilakukan terhadap kepala daerah yang melanggar sumpah/janji jabatan, tidak melaksanakan kewajibannya, melanggar larangan, melakukan perbuatan tercela.
Misalnya, kasus pemberhentian Bupati Katingan Ahmad Yantenglie lantaran terjerat kasus perzinahan. Berdasarkan hasil temuan Pansus, DPRD Kabupaten Katingan, dalam rapat paripurna, sepakat mengusulkan pemberhentian Yantenglie sebagai Bupati Katingan pada Februari 2017 lalu.