Delik Agama di RKUHP Dinilai Masih Bermasalah
Utama

Delik Agama di RKUHP Dinilai Masih Bermasalah

Pemerintah dan DPR diminta untuk menunda pengesahan RKUHP, khususnya pasal delik agama dan kehidupan beragama hingga menemukan formulasi rumusan pasal yang tepat.

CR-26
Bacaan 2 Menit

 

Hal tersebut berpotensi menjerat hukuman kepada para pemuka agama yang kerap menyampaikan dakwah kepada masyarakat. Misalnya, seseorang yang menyampaikan dakwah Islam terhadap seorang yang beragama non-muslim, sehingga yang bersangkutan memperoleh hidayah dan meniadakan keyakinan non-muslimnya, dapat dijerat dengan ketentuan ini.

 

Karena itu, dia mengusulkan rumusan pidana yang paling tepat dalam konteks tersebut seharusnya “pidana terhadap perbuatan orang atau kelompok orang yang berupa pemaksaan, baik secara fisik, tindakan diskriminatif, maupun sanksi hukum, dengan maksud agar seseorang atau kelompok orang lainnya meninggalkan keyakinan atau agamanya saat itu.”

 

Kemudian, RKUHP juga memuat tindak pidana terhadap kehidupan beragama dan sarana ibadah. Dalam bagian bab pasal tersebut juga tidak lepas dari sorotan. Asfina menilai meskipun dalam Pasal 331 ayat (1) RKUHP bersifat positif, namun masih  memiliki kekurangan. 

 

Dalam Pasal 331 ayat (1) RKUHP tersebut tertulis “Setiap orang yang mengganggu, merintangi, atau dengan melawan hukum membubarkan dengan cara kekerasan atau ancaman kekerasan terhadap orang yang sedang menjalankan ibadah, upacara keagamaan, atau pertemuan keagamaan dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV.”

 

Asfina khawatir dalam praktiknya muncul pertanyaan, bahkan diskriminasi, terhadap kegiatan ibadah yang dilaksanakan di rumah tinggal yang bukan tempat ibadah atau tempat lain yang tidak diperuntukan sebagai tempat ibadah. Selain itu, ketentuan tersebut membuka peluang tindakan merintangi ibadah dengan maksud melindungi ketertiban publik.

 

Terkait rumusan Pasal 333 RKUHP, Asfina menilai terjadi over-criminalization. Dalam pasal 333 menyebutkan “setiap orang yang menodai atau secara melawan hukum merusak atau membakar bangunan tempat beribadah atau benda yang dipakai untuk beribadah dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV.

 

Menurutnya, perbuatan pidana dalam pasal ini tidak dapat dibedakan dengan delik perusakan properti biasa (dalam KUHP). Baginya, seharusnya yang membedakan adalah “niat kebencian berdasarkan agama”. “Frasa ‘menodai’ sangat tidak jelas dan bisa jadi pasal karet. Sebaiknya digunakan frasa yang lebih jelas seperti ‘mengotori’,” usulnya.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait