Dasar Hukum, Doktrin dan Yurisprudensi Pembatalan Putusan Arbitrase Asing

Dasar Hukum, Doktrin dan Yurisprudensi Pembatalan Putusan Arbitrase Asing

Pengadilan Indonesia berpandangan bahwa permohonan pembatalan putusan arbitrase internasional harus diajukan ke pengadilan di negara tempat putusan arbitrase dijatuhkan.
Dasar Hukum, Doktrin dan Yurisprudensi Pembatalan Putusan Arbitrase Asing
Ilustrasi: Shutterstock

Arbitrase adalah forum penyelesaian sengketa di luar pengadilan. Para pihak dapat menentukan dalam perjanjian mereka yang isinya menegaskan apabila terjadi sengketa yang berwenang menyelesaikannya adalah forum arbitrase. Mereka dapat pula menentukan perselisihan diselesaikan lewat arbitrase internasional. Klausul semacam ini biasanya dibuat dalam perjanjian antara perusahaan Indonesia dengan perusahaan lain di luar negeri.

Pilihan pada arbitrase didasari pertimbangan tertentu. Misalnya, penyelesaian lewat forum arbitrase dianggap lebih cepat dibandingkan lewat peradilan umum. Arbitrase dinilai lebih dapat menjaga rahasia proses penyelesaian, demi menjaga image perusahaan. Dalam bukunya “Arbitrase dalam Putusan Pengadilan” (2001), Erman Rajagukguk menuliskan sejumlah pertimbangan mengapa pengusaha lebih memilih menyelesaikan perkara mereka melalui arbitrase ketimbang lewat pengadilan.

Pertama, pengusaha asing lebih suka arbitrase karena menganggap sistem hukum dan pengadilan setempat asing bagi mereka. Kedua, para pengusaha dari negara maju beranggapan hakim-hakim di negara berkembang tidak menguasai sengketa dagang yang melibatkan hubungan niaga dan keuangan internasional yang rumit. Ketiga, pengusaha negara maju beranggapan penyelesaian sengketa melalui pengadilan akan memakan waktu lama dan ongkos yang besar, karena prosesnya lama dan panjang mulai dari pengadilan negeri hingga ke Mahkamah Agung. Keempat, adanya anggapan bahwa hakim akan bersikap subjektif terhadap pengusaha asing karena sengketa diperiksa berdasarkan bukan hukum negara mereka, dan oleh hakim bukan dari negara mereka. Kelima, penyelesaian sengketa di pengadilan akan mencari siapa yang salah dan siapa yang benar, dan hasilnya dapat merenggangkan hubungan dagang di antara mereka. Arbitrase dianggap dapat menghasilkan putusan yang kompromistis, yang dapat diterima oleh kedua belah pihak.

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (UU Arbitrase) menegaskan bahwa arbitrase didasarkan pada perjanjian tertulis yang dibuat oleh para pihak. Mahkamah Agung sudah lama berpandangan bahwa pengadilan negeri tidak berwenang memeriksa dan mengadili sengketa apabila para pihak sudah memperjanjikan arbitrase. Simak misalnya Putusan Mahkamah Agung No. 3179 K/Pdt/1984 tanggal 4 Mei 1988, yang menegaskan Pengadilan Negeri tidak berwenang memeriksa dan mengadili gugatan perdata tentang suatu perjanjian yang di dalamnya memuat klausul arbitrase, baik gugatan konvensi maupun rekonvensi. (Baca juga: Pertimbangan Hakim Terkait Memuat Klausul Arbitrase di Kasus Kepailitan)

Masuk ke akun Anda atau berlangganan untuk mengakses Premium Stories
Premium Stories Professional

Segera masuk ke akun Anda atau berlangganan sekarang untuk Dapatkan Akses Tak Terbatas Premium Stories Hukumonline! Referensi Praktis Profesional Hukum

Premium Stories Professional