Dapatkah Doktrin Passing Off Diaplikasikan di Indonesia?
Oleh: Hendra Setiawan Boen *)

Dapatkah Doktrin Passing Off Diaplikasikan di Indonesia?

Di negara-negara dengan sistem hukum Anglo Saxon ada pranata hukum yang selalu digunakan oleh pemegang HaKI untuk melawan pihak yang diduga menggunakan HaKI-nya secara melawan hukum, yaitu passing off

Bacaan 2 Menit

 

Passing off tidak dapat digunakan dalam setiap kasus pelanggaran hukum merek, karena menurut berbagai case law antara lain:

  • Good will dapat berkurang seiring dengan waktu sehubungan dengan pengurangan aktivitas dan reputasi (Knight v Beyond Properties Pty Ltd [2007] FSR 34 (Ch) dan Wise Property Care Ltd v White Thomson Preservation Ltd [2008] CSIH 441);
  • Merek yang dapat menggunakan passing off  dibatasi, dalam hal ini wangi-wangi parfum          (di Eropa wangi-wangian masuk kategori merek yang dilindungi) tidak dapat menggunakan passing off  (L'Oreal SA v Bellure NV [2007] RPC 14 (Lewison J);

 

PEMBERLAKUAN PASSING OFF DI INDONESIA

Seperti telah dijelaskan pada bagian sebelumnya di artikel ini, bahwa passing off adalah salah satu pranata common law untuk melindungi merek yang belum didaftarkan. Beberapa pihak berpandangan bahwa salah satu perwujudan dari passing off di Indonesia adalah Pasal 6 ayat (1) huruf b Undang-Undang No. 15 tahun 2001 tentang Merek (UU Merek), yaitu ketentuan mengenai merek terkenal.

 

Kendati perlindungan merek terkenal diberikan mengingat dua kepentingan yang harus dilindungi, yaitu kepentingan pemilik merek dan kepentingan konsumen sebagai bagian perlindungan hukum terhadap persaingan curang. Namun merek terkenal bukanlah pranata yang asing bagi rezim HaKI, karena terdapat dalam Konvensi Paris yang diusulkan dalam Konferensi di Den Haag tahun 1925. Setelah beberapa kali mengalami revisi, ketentuan merek terkenal kemudian terdapat dalam Pasal 6 bis Konvensi Paris.

 

Lebih lanjut, pengaturan bagi perlindungan merek terkenal juga terdapat di dalam TRIPs (Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights), yaitu pada Pasal 16 ayat (2) jo (3), yang sejalan dengan Pasal 6bis Konvensi Paris.

 

Tidak ada definisi pasti dari merek terkenal, namun di dunia ada beberapa kriteria merek terkenal yang telah disepakati, antara lain: derajat pengenalan atau pengakuan atas merek; luas dan lamanya penggunaan merek; luas dan lamanya pengiklanan dan promosi; sejauhmana merek tersebut dikenal, digunakan, diiklankan, didaftarkan dan dipertahankan dalam wilayah tertentu baik secara lokal, regional atau internasional; derajat daya beda merek; derajat eklusifitas merek; sifat dari barang atau jasa dan jalur perdagangannya; derajat reputasi merek sebagai lambang mutu; dan nilai komerial dari merek (lihat Provision on the Protection of Well-Known Mark dari WIPO yang disahkan oleh SCT tanggal 9 Juni 1999).

 

Melihat beratnya kriteria agar sebuah merek dapat dianggap sebagai merek terkenal (well-known mark), maka wajar rasanya apabila tidak semua merek, sepopuler apapun merek tersebut di mata konsumennya, dapat dikatakan sebagai merek terkenal, karena belum tentu merek ini juga dikenal di belahan dunia yang lain.

 

Untuk memakai argumen passing off, maka merek yang bersangkutan tidak perlu mencapai tingkatan merek terkenal, cukup bahwa merek ini memiliki konsumen yang sudah mengenalinya saja, apalagi bahwa passing off berasal dari case law bukan peraturan perundang-undangan, dengan demikian pengaturan merek terkenal tidaklah identik dengan passing off.

 

Menurut Pasal 3 UU Merek, Hak atas merek adalah hak eksklusif yang diberikan oleh negara kepada pemilik merek yang terdaftar dalam daftar umum merek untuk jangka waktu tertentu dengan menggunakan sendiri merek tersebut atau memberikan izin kepada pihak lain untuk menggunakannya.

 

Konsekuensi yuridis dari pasal a quo cukup jelas, bahwa seorang pengguna merek hanya terlindungi mereknya, apabila yang bersangkutan telah mendapatkan hak atas merek tersebut dari negara dengan cara mendaftarkan mereknya ke Dirjen. HKI. Di Indonesia tidak ada merek yang terlindungi apabila belum terdaftar di Dirjen. HKI.

 

Hal ini terbukti dengan tidak ada satu pun putusan pengadilan di Indonesia yang pernah mengabulkan gugatan dari pengguna merek yang belum terdaftar. Berbeda halnya dengan Amerika yang memberikan hak atas merek berdasarkan penggunaan bukan pendaftaran. Sedangkan di Australia dan Inggris, merek belum terdaftar terlindungi oleh passing off. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa UU Merek tidak mengandung doktrin passing off. Oleh karenanya, doktrin ini tidak dapat digunakan di Indonesia.

 

----

*) Penulis adalah associate pada salah satu kantor advokat di Jakarta.

 

Tags: