Chandra Setiawan: Hapus Semua Peraturan yang Diskriminatif
Utama

Chandra Setiawan: Hapus Semua Peraturan yang Diskriminatif

Hari raya Imlek mengingatkan banyak orang akan masyarakat Tionghoa pada umumnya, dan umat Konghucu secara khusus. Namun, sejumlah peraturan perundang-undangan dipandang masih menjadi ganjalan bagi mereka untuk tampil dan menjalani proses bernegara.

CR-1/Mys
Bacaan 2 Menit

Setelah Anda masuk Komnas HAM, apakah masalah diskriminasi yang dialami ummat Konghucu Anda sampaikan untuk ditelaah?

Saya tidak akan spesifik berbicara mengenai ummat Konghucu. Konghucu memang spesifik, tetapi diskriminasi dialami ‘minoritas'. Sebut misalnya pembuatan kartu tanda penduduk dan pencatatan perkawinan. Kami meminta golongan pemeluk di luar kelima agama diakui. Walaupun nggak ada undang-undangnya, tetapi diskriminasi sudah menimpa Konghucu, penganut aliran kepercayaan. Itu kan terkena semua. Oleh karena itu, sejak awal masuk Komnas, saya sampaikan bahwa itu perlu diatur. Kalau ada peraturan diskriminatif yang levelnya di bawah undang-undang (UU), harusnya itu dicabut. Misalnya Surat Menteri Agama mengenai pengisian KTP yang hanya mentolerir lima agama. Akhirnya, terkait dengan masalah ini, Komnas memang menulis surat ke Presiden tahun lalu, yang meminta Presiden menyampaikan (masalah yuridis) ini ke Mahkamah Agung.

Apa sudah ada respon Presiden?

Sampai sekarang tidak ada respon atau pun way out. Kok lama benar ya.

Bagaimana dengan surat bukti kewarganegaraan?

Mengenai Surat Bukti Kewarganegaraan (SBKRI) juga kita persoalkan. Kenapa sih dibedakan misalnya dalam perpanjangan dan pengurusan paspor. Itu ‘kan aneh. Bagi yang non Tionghoa tidak memerlukan, sedangkan masyarakat Tionghoa harus menunjukkan bukti itu. Itu pun sudah pernah direkomendasikan Komnas HAM untuk dicabut. Anda bisa melihat dalam laporan Komnas tahun 2003. Kebetulan di Komnas, saya kebagian tugas menangani masalah diskriminasi itu. Komnas juga mengkaji peraturan-peraturan yang dianggap diskriminatif. Tidak lama lagi kami akan berikan rekomendasi ke dalam Rapat Pleno untuk menindaklanjutinya agar dicabut semua.

Bukankah Pemerintah sudah mengatakan SBKRI dicabut?

Sejak era Habibie memang sudah ada (pernyataan mencabut). Cuma di level bawah tidak ada ketegasan. Mestinya Presiden betul-betul memerintahkan langsung agar Menteri Kehakiman membuat juklak hingga ke jajaran bawah. Masalahnya saya kira adalah petunjuk pelaksanaan yang tidak tegas. Misalnya akte kelahiran orang Tionghoa. Saya pernah mengurus 1999, saya tunjukkan Keppresnya Habibie yang bilang SBKRI ndak perlu. Ternyata petugas di bawah itu tidak mau melayani. Mereka bilang kalau Tionghoa tetap harus punya SBKRI. Jadi masalahnya, bagaimana kalau goodwill itu seyogianya tidak hanya untuk kepentingan politik.

Kami dengar Komnas juga sedang mempersiapkan RUU Catatan Sipil. Bagaimana kelanjutannya?

Itu bukan hanya Komnas HAM, tetapi hasil Konsorsium. Memang SK pembentukannya dari Komnas. Tapi draf RUU itu sudah milik bersama dari banyak institusi. Naskahnya sudah diserahkan secara resmi ke Mendagri. Langsung oleh Ibu Lies Sugondho, Ketua Konsorsium, menyerahkannya ke Mendagri kalau tidak salah Oktober lalu. Bolanya sekarang ada di tangan pemerintah, untuk menyampaikan ke DPR sebagai hak inisiatif.

Apa gagasan yang urgen dalam RUU Catatan Sipil itu?

Salah satunya agar pencatatan perkawinan itu tidak melihat agama. Sekarang ini kan UU No. 1 Tahun 1974 terutama pasal 2 ayat (1) mengenai perkawinan menurut  agama dan kepercayaan masing-masing. Klausul itu ditafsirkan di lapangan seolah-olah hanya untuk empat agama. Walaupun dalam UU-nya sendiri nggak ada (batasan) itu. Dalam konteks ini, sebenarnya Komnas HAM juga sudah meminta ke MA agar memberikan fatwa. Ini kan terkait amandemen UUD'45 pasal 28e yang mengatur dua ayat. UU No. 1 Tahun 1974 pun tidak menyebut harus lima agama.

Apa urgensi RUU tersebut bagi umat Konghucu?

Bukan hanya untuk Konghucu, tapi bagi bangsa ini. Sebab kita masih menggunakan staatsblad yang membedakan kita atas empat golongan penduduk. Masa sudah merdeka puluhan tahun, kita masih menggunakan peraturan yang dikeluarkan pada zaman Belanda, yang mengharuskan catatan sipil bagi Kristen (Staatsblad 1933 No. 75 jo 1936 No. 607) dan Tionghoa (Staatsblad 1917 No. 130 jo 1918 No. 81). Dasar pencatatan beda-beda. Itu kan ndak layak dipakai lagi karena diskriminatif. Jangan lupa misalnya, bahwa kawin beda agama belum diakomodasi, sehingga sering terjadi penyelundupan hukum.

Halaman Selanjutnya:
Tags: