Cerita Monopoli di Balik Sukses Bisnis Grup 21 Cineplex
Fokus

Cerita Monopoli di Balik Sukses Bisnis Grup 21 Cineplex

Praktek monopoli ternyata tidak hanya terjadi dalam industri "serius" saja. Industri hiburan pun tak lepas dari ancaman praktek monopoli. Hasil penelitian Monopoly Watch, 21 Cineplex Group terindikasi telah melakukan monopoli perbioskopan Indonesia.

Ari/Amr/APr
Bacaan 2 Menit

Praktek monopoli ditandai dengan dimulainya tata niaga impor film Mandarin oleh Prananto (pengusaha kapal dari Semarang), yang mengharuskan para importir film Mandarin yang sudah ada agar mengimpor film melalui perusahaannya dan membayar fee kepadanya. 

Kemudian, posisi Prananto ini digeser oleh kakak beradik Benny Suherman dan Bambang Sutrisno melalui perusahaannya PT Sejahtera Film (Perusahaan Importir Khusus Film Mandarin). Posisi monopoli impor film Mandarin ini diperoleh berkat  digandengnya Sudwikatmono, sehingga mereka bertiga memasang bendera baru dengan nama PT Suptan Film.

Praktek monopoli ini tidak berhenti sampai di impor film Mandarin saja. Karena sebenarnya, pada saat yang sama terjadi juga di impor film Amerika-Eropa dan impor film India (Asia Non Mandarin). Penguasanya berbeda-beda dalam bentuk asosiasi importir, tapi pada masa ini persaingan masih ada dan cenderung tajam. 

Tetapi kemudian, ketiga asosiasi film tersebut bersatu dengan nama Asosiasi Importir Film (AIF). Penyatuan ini berdampak besar bagi bisnis bioskop dan film nasional. Pasalnya, AIF membangun kekuatan besar dalam bisnis yang terintegrasi, yaitu impor film, distribusi film, dan bioskop.

Konsentrasi bisnis ini mengakibatkan persaingan tidak sehat dan praktek monopoli baru. Pengusaha bioskop ditempatkan pada posisi lemah dalam bargaining position dengan distributor/pengedar film impor. Sementara produsen film nasional terjepit di antara kepentingan bioskop dan importir.

Hingga akhirnya, pengusaha-pengusaha bioskop tersebut harus menyerahkan pengaturan pemutaran film di bioskopnya kepada AIF. Makin lama, hal ini justru membuat posisi pemilik bioskop tergencet. Apalagi dengan berbagai persyaratan yang dipatok oleh sang distributor sekaligus importir tunggal itu. Persyaratan itu mengikat dan mengancam kepemilikan mereka akan bioskopnya sendiri. 

Dengan alasan up grading fasilitas bioskop, untuk memenuhi standar pemutaran film impor di gedung-gedung bioskop, akhirnya membuat para pemilik bioskop menyerahkan asetnya untuk diambil alih atau share kepemilikannya, atau minimal diserahkan pengelolaannya kepada distributor dan importir tunggal.

Tags: