Catatan Penolakan Serikat Buruh Terhadap Program Tapera
Utama

Catatan Penolakan Serikat Buruh Terhadap Program Tapera

Program Tapera tumpang tindih dengan program manfaat layanan tambahan (MLT) perumahan BPJS Ketenagakerjaan, dan Pasal 37 UU 40/2004. Lebih baik maksimalkan program MLT perumahan dan Pasal 37 UU 40/2004 untuk keperluan perumahan pekerja, sehingga pekerja dan pengusaha swasta/BUMN/BUMD tidak perlu lagi dibebani kewajiban membayar iuran Tapera.

Ady Thea DA
Bacaan 5 Menit

Kedua, dana simpanan peserta yang dikelola BP Tapera tidak ada kepastian imbal hasil. Timboel melihat imbal hasil ditentukan subjektif oleh BP Tapera. Beda halnya dana Jaminan Hari Tua (JHT) BPJS Ketenagakerjaan yang imbal hasilnya paling sedikit sama seperti rata-rata deposito bank pemerintah. Selama ini rata-rata imbal hasil yang dikembalikan kepada peserta JHT lebih tinggi 1 sampai 2 persen dari bunga deposito bank pemerintah.

Ketiga, saat ini sudah ada fasilitas perumahan bagi pekerja swasta/BUMN/BUMD melalui program Manfaat Layanan Tambahan (MLT) BPJS Ketenagakerjaan. Hal itu telah diatur Peraturan Menteri Ketenagakerjaan No.17 Tahun 2021 jo Permenaker No.35 Tahun 2016 yang intinya memberikan manfaat sama seperti Tapera yakni KPR, pembangunan rumah, atau renovasi rumah. Permenaker 17/2021 mengatur besaran program uang muka perumahan yang diberikan kepada peserta paling banyak Rp150 juta, KPR paling banyak Rp500 juta, dan renovasi paling banyak Rp200 juta.

Selain itu, Pasal 37 UU No.40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) juga membuka peluang paling banyak 30 persen dari saldo JHT peserta untuk perumahan setelah masa kepesertaan minimal 10 tahun. Dengan begitu, ada tumpang tindih antara program MLT perumahan, Pasal 37 UU 40/2004, dan Tapera.

“Lebih baik maksimalkan saja MLT perumahan dan Pasal 37 UU 40/2004 untuk keperluan perumahan pekerja, sehingga pekerja dan pengusaha swasta/BUMN/BUMD tidak perlu lagi dibebani kewajiban membayar iuran Tapera,” usulnya.

Di sisi lain, kata Timboel, Permenaker 17/2021 harus direvisi, terutama ketentuan suku bunga yang dibayar peserta perlu disesuaikan dengan suku bunga di Tapera. UU 4/2016 mengatur peserta yang mendapat manfaat Tapera harus membayar bunga pinjaman atas dana yang diberikan BP Tapera sebesar 5 persen per tahun. Timboel juga mengusulkan seharusnya kepesertaan Tapera bagi peserta/pekerja swasta diubah dari wajib menjadi sukarela.

Keempat, kewajiban membayar iuran Tapera yang totalnya 3 persen, akan mengganggu kebutuhan konsumsi buruh dan cash flow perusahaan. Kebutuhan perumahan bagi pekerja bisa mengggunakan MLT Perumahan dan Pasal 37 UU SJSN, sehingga pekerja dan pengusaha tidak perlu lagi membayar iuran. Kelima, kebutuhan perumahan masyarakat miskin dan tidak mampu belum diakomodir (terlaksana) melalui UU 4/2016. Seharusnya Pasal 7 ayat (2) UU 4/2016 dimaknai pemerintah dengan memprioritaskan fasilitas perumahan bagi masyarakat miskin dan tidak mampu.

Timboel juga mengusulkan pembiayaan perumahan rakyat miskin diberikan dengan skema PBI (Penerima Bantuan Iuran) seperti di Program JKN, dengan sumber pembiayaan dari Dana Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan yang berasal dari APBN. Selain itu, pemerintah dan DPR harus segera merevisi UU 4/2016 terutama Pasal 7, 9, dan 18 dengan mengubah skema kepesertaan wajib bagi pekerja swasta/BUMN/BUMD menjadi sukarela. Permenaker 17/2021 juga perlu direvisi, terutama ketentuan suku bunga yang dikenakan kepada pekerja yang mendapat manfaat perumahan.

Tags:

Berita Terkait