Catatan Komnas HAM terhadap Lima Isu dalam RKUHP
Utama

Catatan Komnas HAM terhadap Lima Isu dalam RKUHP

Mengenai pengaturan delik hukum yang hidup dalam masyarakat (living law), mati, kebebasan sipil, kesusilaan, dan pidana khusus. Komnas HAM mendesak pembentuk UU untuk membenahi sejumlah pasal RKUHP yang masih bermasalah itu sebelum disahkan.

Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit

 

Menurutnya, pengaturan tindak pidana perzinaan dan percabulan dalam RKUHP berpotensi melanggar hak atas privasi sebagaimana diatur Pasal 17 UU No.12 Tahun 2005 dan hak atas integritas tubuh. Namun, Anam menyambut baik sebagian ketentuan RKUHP yang mengakomodir konsep gender neutral, marital rape, statutory rape, serta perkosaan dengan menggunakan suatu benda atau anggota tubuh lain, termasuk seks oral pada tindak pidana perkosaan. Kemudian ada penambahan unsur-unsur percabulan yang dilakukan dengan bujuk rayu dan tipu daya.

 

Kelima, pidana khusus. Anam mengusulkan ketentuan tindak pidana pelanggaran HAM berat dihapus dari RKUHP. Jika itu tidak dihapus, kata Anam, akan melemahkan kewenangan Komnas HAM sebagai lembaga yang memiliki kewenangan penyelidikan seperti diatur UU No.26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Tindak pidana umum sebagaimana diatur dalam RKUHP tidak mengenal prinsip pidana khusus dalam pelanggaran HAM berat, seperti asas retroaktif, hukum acara khusus, tidak terdapat daluwarsa, dan sifat kejahatan luar biasa (extra ordinary crime).

 

Untuk itu, Komnas HAM mendesak DPR dan pemerintah untuk membenahi sejumlah pasal RKUHP yang masih bermasalah itu sebelum disahkan. Pembenahan itu harus melibatkan berbagai pihak kepentingan termasuk Komnas HAM. Jika pembenahan itu tidak memungkinkan, Anam meminta agar pengesahan RKUHP ditunda. Baca Juga: Polemik Living Law, Muncul Gagasan Kompilasi Hukum Pidana Adat

 

Senada, Ketua YLBHI Asfinawati mencatat masih banyak pasal dalam RKUHP yang harus diperbaiki. Misalnya, tentang hukum yang hidup di masyarakat akan menjerat banyak orang masuk penjara karena dianggap melakukan pidana di suatu daerah yang tidak diketahui apa saja ketentuan pidana dalam living law yang ada di daerah tersebut. Penafsiran hukum yang hidup di masyarakat ini bersifat subyektif dan memberi kewenangan besar kepada aparat kepolisian.

 

Asfin merujuk Pasal 342 RKUHP yang dinilainya memuat norma yang tidak jelas karena tidak ada ukuran tentang apa yang dimaksud dengan “menggunakan dan memanfaatkan hewan di luar kemampuan kodratnya.” Kemudian Pasal 281 RKUHP tentang contempt of court. Pasal ini juga memuat norma yang tidak jelas dan mengancam kerja profesi advokat dan jurnalis. Selain itu, menurut Asfin RKUHP menjadi alat pengendali moralitas, misalnya Pasal 417 RKUHP, menciptakan pidana baru terkait perzinahan.

 

“Masih banyak pasal dalam RKUHP yang memuat norma tidak jelas,” kata dia.

 

Asfin mengusulkan kepada DPR dan pemerintah untuk mendengar seluruh masukan masyarakat dengan berpegang teguh pada konstitusi. Jika ada sejumlah masukan yang tidak selaras/sejalan dengan mandat konstitusi, DPR dan pemerintah tidak perlu mengakomodirnya dalam RKUHP.

Tags:

Berita Terkait