Catatan Komnas HAM terhadap Lima Isu dalam RKUHP
Utama

Catatan Komnas HAM terhadap Lima Isu dalam RKUHP

Mengenai pengaturan delik hukum yang hidup dalam masyarakat (living law), mati, kebebasan sipil, kesusilaan, dan pidana khusus. Komnas HAM mendesak pembentuk UU untuk membenahi sejumlah pasal RKUHP yang masih bermasalah itu sebelum disahkan.

Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: HGW
Ilustrasi: HGW

Beredarnya informasi bakal disahkannya menjadi Undang-Undang (UU) pada 24 September 2019 mendatang, materi muatan RKUHP terus menuai penolakan dari sejumlah elemen masyarakat. Kini, giliran Komnas HAM yang mengkritik sejumlah materi muatan pasal dalam draft RKUHP tertanggal 28 Agustus 2019 ini.          

 

Komisioner Komnas HAM M Choirul Anam menyoroti lima isu dalam RKUHP. Pertama, mengenai delik hukum yang hidup di masyarakat (living law) sebagaimana diatur Pasal 2 RKUHP. Ketentuan itu intinya mengakui berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat yang menentukan seseorang patut dipidana meski perbuatan itu tidak diatur dalam UU.

 

Komisioner bidang Pengkajian dan Penelitian ini menilai pasal living law itu tidak sesuai dengan prinsip kepastian hukum. Jika mengandalkan hukum yang tidak tertulis di setiap daerah yang memiliki budaya beragam, menimbulkan ketidakpastian hukum. Anam mengingatkan selama ini hukum yang hidup di masyarakat sudah diakui keberadaannya, misalnya dalam hal keperdataan, dan waris. Karena itu, tidak tepat jika hal yang sama diberlakukan untuk ranah hukum pidana.

 

Menurutnya, aturan pidana yang berlaku seluruh daerah di Indonesia seharusnya mengacu pada satu peraturan yang sama dengan ukuran rumusan delik yang jelas. “Komnas HAM menghormati hukum yang lahir dan berkembang di masyarakat, tapi bukan terkait ranah kepidanaan,” kata Anam dalam diskusi di kantor Komnas HAM Jakarta, Selasa (3/9/2019). Baca Juga: Panja RKUHP: Beberapa Rumusan Pasal Masih Terus Diperbaiki

 

Kedua, pidana mati. Anam menegaskan secara prinsip Komnas HAM menolak hukuman mati. Dia mengingatkan masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Indonesia pernah menerapkan moratorium terhadap eksekusi terpidana mati. Langkah itu dinilai tepat mengingat Indonesia terikat hukum internasional, seperti Deklarasi Universal HAM (DUHAM) dan kovenan sipol yang menjunjung tinggi atau menjamin hak setiap orang untuk hidup seperti diatur pula dalam konstitusi dan UU No.39 Tahun 1999 tentang HAM.

 

“Faktanya hukuman mati tidak menimbulkan efek jera dan tidak mengurangi (tingkat) kejahatan,” kata Anam.

 

Untuk itu, Komnas HAM mengusulkan agar ketentuan pidana mati dalam RKUHP member ruang atau kesempatan terhadap terpidana mati untuk bisa “dibebaskan” dari hukuman mati. Misalnya, ketika terpidana mati sudah menjalani masa hukuman 10 tahun, wajib dilakukan evaluasi. Tren global saat ini banyak negara tidak menerapkan hukuman mati meskipun hukuman mati masih ada secara tertulis. “Terpidana mati harus punya kesempatan yang sama untuk bisa lepas dari jerat hukuman mati,” usulnya.

 

Anam mencatat sedikitnya ada 2 pasal bermasalah terkait hukuman mati yakni Pasal 100 ayat (1), ayat (4), dan Pasal 101 RKUHP. Beberapa pasal itu memuat kata “dapat”, sehingga meniadakan asas kepastian hukum bagi terpidana mati. Seharusnya kata “dapat” diganti menjadi kata “harus.”

 

Ketiga, kebebasan sipil, salah satunya terkait delik agama. Anam berpendapat penafsiran agama tidak layak untuk dipidana. Pasal 304 RKUHP, menurut Anam sudah tepat menggunakan unsur “sifat permusuhan” dan rumusan ini lebih jelas daripada “penodaan” dan “penghinaan” yang multitafsir. Kemudian frasa “agama yang dianut”, menurut Anam ini membatasi dan kurang mengakomodir keberadaan aliran kepercayaan.

 

“Kebebasan beragama dan berkeyakinan dijamin Pasal 28E ayat (1), ayat (2), dan Pasal 29 ayat (2) UUD Tahun 1945, serta Pasal 18 UU No.12 Tahun 2005 tentang Pengesahan ICCPR,” ujarnya mengingatkan.

 

Masih mengenai kebebasan sipil, Anam mempersoalkan lahirnya kembali pasal penghinaan presiden yang telah dihapus MK lewat putusan MK bernomor 013-022/PUU-IV/2006. Putusan itu menghapus Pasal 134, Pasal 136bis, dan Pasal 137 KUHP. Anehnya, pasal itu dihidupkan kembali lewat Pasal 218 dan 219 RKUHP. Bagi Komnas HAM, pemberlakuan kembali pasal ini berpotensi melanggar hak kebebasan berpendapat dan berekspresi sebagaimana diatur Pasal 19 UU Np.12 Tahun 2005 dan UUD Tahun 1945.

 

Ketentuan serupa juga ditemui dalam pasal makar dalam RKUHP. Anam melihat RKUHP memperluas makna makar menjadi 3 jenis tindak pidana makar yakni makar terhadap presiden (Pasal 191), makar terhadap NKRI (Pasal 192), dan makar terhadap pemerintah yang sah (Pasal 193-195). Pasal 167 RKUHP menjelaskan defenisi makar yaitu niat untuk melakukan suatu perbuatan yang telah diwujudkan dengan adanya permulaan pelaksanaan perbuatan tersebut.

 

“Ketentuan makar terhadap negara dan presiden sudah cukup baik daripada draft RKUHP sebelumnya. Tapi terkait makar terhadap pemerintahan yang sah, saya mengusulkan untuk dihapus saja guna menghindari absolutisme kekuasaan eksekutif,” usulnya.

 

Keempat, tindak pidana kesusilaan diatur Pasal 417 ayat (1) RKUHP yang memperluas definisi zina meliputi pihak yang tidak terikat perkawinan yang sah; Pasal 413 ayat (1) Percabulan; Pasal 421 ayat (1) huruf c Pornografi tidak memuat unsur “kesengajaan” dalam rangka memproduksi, mempublikasikan dan menyebarluaskan. Pasal 421 ayat (1) ini tidak memasukan ketentuan perbuatan cabul di ruang privat. Pelaku yang melakukan pencabulan di ruang privat berpotensi akan lepas dari jerat pidana pencabulan ini.

 

Menurutnya, pengaturan tindak pidana perzinaan dan percabulan dalam RKUHP berpotensi melanggar hak atas privasi sebagaimana diatur Pasal 17 UU No.12 Tahun 2005 dan hak atas integritas tubuh. Namun, Anam menyambut baik sebagian ketentuan RKUHP yang mengakomodir konsep gender neutral, marital rape, statutory rape, serta perkosaan dengan menggunakan suatu benda atau anggota tubuh lain, termasuk seks oral pada tindak pidana perkosaan. Kemudian ada penambahan unsur-unsur percabulan yang dilakukan dengan bujuk rayu dan tipu daya.

 

Kelima, pidana khusus. Anam mengusulkan ketentuan tindak pidana pelanggaran HAM berat dihapus dari RKUHP. Jika itu tidak dihapus, kata Anam, akan melemahkan kewenangan Komnas HAM sebagai lembaga yang memiliki kewenangan penyelidikan seperti diatur UU No.26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Tindak pidana umum sebagaimana diatur dalam RKUHP tidak mengenal prinsip pidana khusus dalam pelanggaran HAM berat, seperti asas retroaktif, hukum acara khusus, tidak terdapat daluwarsa, dan sifat kejahatan luar biasa (extra ordinary crime).

 

Untuk itu, Komnas HAM mendesak DPR dan pemerintah untuk membenahi sejumlah pasal RKUHP yang masih bermasalah itu sebelum disahkan. Pembenahan itu harus melibatkan berbagai pihak kepentingan termasuk Komnas HAM. Jika pembenahan itu tidak memungkinkan, Anam meminta agar pengesahan RKUHP ditunda. Baca Juga: Polemik Living Law, Muncul Gagasan Kompilasi Hukum Pidana Adat

 

Senada, Ketua YLBHI Asfinawati mencatat masih banyak pasal dalam RKUHP yang harus diperbaiki. Misalnya, tentang hukum yang hidup di masyarakat akan menjerat banyak orang masuk penjara karena dianggap melakukan pidana di suatu daerah yang tidak diketahui apa saja ketentuan pidana dalam living law yang ada di daerah tersebut. Penafsiran hukum yang hidup di masyarakat ini bersifat subyektif dan memberi kewenangan besar kepada aparat kepolisian.

 

Asfin merujuk Pasal 342 RKUHP yang dinilainya memuat norma yang tidak jelas karena tidak ada ukuran tentang apa yang dimaksud dengan “menggunakan dan memanfaatkan hewan di luar kemampuan kodratnya.” Kemudian Pasal 281 RKUHP tentang contempt of court. Pasal ini juga memuat norma yang tidak jelas dan mengancam kerja profesi advokat dan jurnalis. Selain itu, menurut Asfin RKUHP menjadi alat pengendali moralitas, misalnya Pasal 417 RKUHP, menciptakan pidana baru terkait perzinahan.

 

“Masih banyak pasal dalam RKUHP yang memuat norma tidak jelas,” kata dia.

 

Asfin mengusulkan kepada DPR dan pemerintah untuk mendengar seluruh masukan masyarakat dengan berpegang teguh pada konstitusi. Jika ada sejumlah masukan yang tidak selaras/sejalan dengan mandat konstitusi, DPR dan pemerintah tidak perlu mengakomodirnya dalam RKUHP.

Tags:

Berita Terkait