Catatan ILUNI FH UI untuk Penguatan RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual
Terbaru

Catatan ILUNI FH UI untuk Penguatan RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual

ILUNI FH UI mendorong agar pembahasan RUU TPKS dilakukan secara komprehensif dan mengupayakan agar kualitas substansi RUU TPKS mampu memberikan akses keadilan terhadap korban, serta menjamin perlindungan dan rehabilitasi terhadap korban.

Agus Sahbani
Bacaan 4 Menit
Ilustrasi
Ilustrasi

Ikatan Alumni Fakultas Hukum Universitas Indonesia (ILUNI FH UI) mengapresiasi penetapan Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) sebagai RUU inisiatif DPR pada Rapat Paripurna 18 Januari 2022 lalu. ILUNI FH UI terus mendukung pemerintah dan DPR dalam upaya merampungkan RUU TPKS untuk menjawab kebutuhan masyarakat khususnya perlindungan kepentingan korban di tengah maraknya kasus kekerasan seksual dengan berbagai modus operandi yang terjadi. 

Secara garis besar, ILUNI FH UI memandang sudah terdapat perkembangan positif dan penyempurnaan terhadap substansi RUU TPKS. Antara lain dalam hal pengaturan tindak pidana, hukum acara, perlindungan korban, hak-hak korban, dan pencegahan kekerasan seksual. Beberapa hal yang perlu diapresiasi antara lain penghindaran duplikasi dengan existing laws yang termuat di dalam KUHP dan UU Perlindungan Anak.

“RUU TPKS saat ini juga telah mencoba menjawab kebutuhan perlindungan terhadap korban dan peningkatan kualifikasi aparat penegak hukum dalam menangani perkara kekerasan seksual,” ujar Ketua Umum ILUNI FH UI Rapin Mudiardjo dalam keterangannya, Kamis (3/2/2022).   

(Baca Juga: Masukan Penting LPSK Atas Pembahasan RUU TPKS)

Sejatinya UU TPKS menjawab berbagai permasalahan dalam penanganan kasus kekerasan/kejahatan seksual. Tetapi, ILUNI FH UI beranggapan masih terdapat beberapa isu dan hal yang harus diperhatikan dalam perumusan RUU TPKS. Diantaranya terkait mekanisme memperluas cakupan RUU TPKS agar menjangkau kekerasan seksual yang ada dalam KUHP, UU Perlindungan Anak, UU Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO), UU Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT), dan UU lain yang mengatur pemidanaan kekerasan seksual.

Selain itu, diperlukan mekanisme jaminan pembayaran ganti kerugian yang diberikan kepada Korban atau keluarganya oleh pelaku atau pihak ketiga (restitusi) terhadap korban kekerasan seksual. “Mengingat banyak sekali korban kekerasan seksual yang tidak mendapatkan ganti kerugian atas proses rehabilitasi untuk kepentingan pemulihan korban,” kata Rapin.  

ILUNI FHUI mengapresiasi upaya draf Baleg DPR RI 8 Desember 2021 yang mengakomodir pengaturan tindak pidana pelecehan atau kekerasan berbasis gender elektronik (KBGO) dalam Pasal 5 RUU TPKS. Namun, ILUNI FH UI menilai terdapat pengaturan Pasal 27 ayat (1) UU Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) tentang penyebaran konten pelanggaran kesusilaan yang justru seringkali digunakan untuk menjerat korban.

“Pengaturan pelecehan seksual berbasis elektronik dalam RUU TPKS harus dibarengi dengan penghapusan Pasal 27 ayat (1) UU ITE yang perlu dimuat dalam ketentuan penutup RUU TPKS,” usulnya.  

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait