Butuh Terobosan untuk Tuntaskan Pelanggaran HAM
Berita

Butuh Terobosan untuk Tuntaskan Pelanggaran HAM

Permintaan maaf Presiden selaku kepala negara penting sebagai pintu masuk penuntasan kasus pelanggaran HAM masa lalu.

ADY
Bacaan 2 Menit
Butuh terobosan untuk tuntaskan pelanggaran HAM. Foto: ilustrasi (Sgp)
Butuh terobosan untuk tuntaskan pelanggaran HAM. Foto: ilustrasi (Sgp)

Sampai saat ini, pemerintah dinilai masih belum serius untuk menuntaskan kasus pelanggaran HAM masa lalu.Padahal, sejumlah pihak merasa penuntasan kasus itu sangat penting untuk kemajuan berbangsa dan bernegara. Menurut salah satu sejarawan Universitas Indonesia, Hilmar Farid, kasus pelanggaran HAM berat masa lalu, khususnya peristiwa pembunuhan massal 1965–1966 tidak dapat diselesaikan dengan satu cara. Pola terjadinya peristiwa itu berbeda-beda di berbagai daerah.


Banyak aspek yang perlu diperhatikan dalam melihat peristiwa yang terjadi. Hal itulah yang menyebabkan kasus pembunuhan massal 1965–1966 menjadi rumit dan tidak dapat diselesaikan lewat satu cara. Misalnya, rekomendasi Komnas HAM. Farid menilai rekomendasi itu tidak dapat digunakan untuk kasus pembunuhan massal 1965–1966 yang terjadi di seluruh daerah di Indonesia. Menurutnya, proses pelanggaran HAM dalam kasus itu di tiap daerah berbeda-beda.


Farid berpendapat butuh terobosan agar penyelesaian kasus tersebut lewat rekonsiliasi dapat terwujud. Jika mengandalkan mekanisme hukum seperti diselenggarakannya pengadilan HAM ad hoc, Farid pesimis hal itu dapat dilakukan untuk saat ini. Perangkat yang ada untuk mewujudkan hal tersebut belum terpenuhi. Salah satunya adalah dukungan politik dari pihak yang berkuasa. Sampai saat ini, Farid belum melihat adanya dukungan itu. “Bukan berarti kita pesimis, tapi harus dicari terobosan itu,” kata Farid dalam diskusi di Jakarta, Jumat (07/9).


Mengingat tidak ada respon yang berarti dari pemerintah soal penuntasan pelanggaran HAM  masa lalu, Farid menyebut masyarakat harus didorong untuk aktif bertindak. Seluruh elemen yang mendukung penegakan HAM dan demokrasi harus memberikan penyadaran kepada masyarakat atas kasus yang terjadi. Menurutnya, Komnas HAM sudah melakukan upaya yang cukup baik dengan menerbitkan rekomendasi, fungsi masyarakat adalah mendorongnya agar terwujud.


Rekomendasi itu menurut Farid menjadi catatan sejarah baru di Indonesia dimana Komnas HAM, sebagai salah satu lembaga yang mewakili negara soal HAM, menilai ada dugaan pelanggaran HAM dalam peristiwa pembantaian massal 1965–1966. Capaian itu memberi pergerakan positif di bidang HAM.


Jika kasus pelanggaran HAM berat mampu diselesaikan dengan baik, misalnya lewat proses rekonsiliasi, Farid berpendapat hal itu akan memberi dampak positif bagi kehidupan masyarakat Indonesia ke depan. Sejalan dengan itu, Farid yakin berbagai macam kasus tindak pelanggaran HAM dapat dicegah sehingga tidak berulang kembali. Farid khawatir, tak kunjung diselesaikannya kasus pelanggaran HAM masa lalu menjadi preseden untuk terciptanya kasus serupa di masa depan.


Senada, salah satu Ketua PBNU, M Imam Aziz, mengatakan butuh terobosan untuk mewujudkan rekonsiliasi untuk menuntaskan kasus pelanggaran HAM berat, khususnya peristiwa pembantaian massal1 965– 1966. Pria yang aktif melakukan pendampingan kepada korban peristiwa pembantaian massal itu mengatakan untuk sekarang, Presiden selaku kepala negara yang dapat melakukan terobosan  itu. Salah satu caranya dengan meminta maaf terhadap para korban pelanggaran HAM masa lalu. Jika hal itu dilakukan, Imam merasa seluruh lembaga negara terkait akan terdorong untuk menindaklanjuti.

Halaman Selanjutnya:
Tags: