Butuh Terobosan untuk Tuntaskan Pelanggaran HAM
Berita

Butuh Terobosan untuk Tuntaskan Pelanggaran HAM

Permintaan maaf Presiden selaku kepala negara penting sebagai pintu masuk penuntasan kasus pelanggaran HAM masa lalu.

ADY
Bacaan 2 Menit


Menurut Imam, negara harus bertanggungjawab atas peristiwa pelanggaran HAM berat itu. Oleh karenanya tidak ada alasan bagi presiden selaku pemimpin negara untuk tidak meminta maaf kepada para korban. Dia mengingatkan, permintaan maaf itu pernah dilakukan oleh mantan Presiden RI, Abdurrahman Wahid. Oleh karenanya, Presiden saat ini dapat melakukan hal serupa.


Setidaknya, ada tiga alasan yang mengharuskan Presiden untuk meminta maaf kepada korban, terutama dalam kasus pembunuhan massal 1965–1966. Pertama, negara melakukan pembiaran atas terjadinya pembunuhan massal. Kedua, negara memenjarakan banyak orang tanpa melewati proses hukum yang jelas. Ketiga, terdapat kebijakan bersih diri dan bersih lingkungan yang merugikan para korban.


Jika permintaan maaf itu sudah diutarakan maka langkah selanjutnya yaitu melakukan upaya untuk memulihkan hak-hak para korban yang selama ini dirampas. Misalnya, mengembalikan tanah korban yang diambil  secara paksa, serta kerugian lainnya. Sejalan dengan itu peraturan perundang-undangan yang menghambat terwujudnya proses rekonsiliasi harus dievaluasi. Imam mencontohkan di era kepemimpinan Abdurrahman Wahid, untuk menghentikan diskriminasi terhadap etnis Tionghoa pemerintah mencabut sejumlah peraturan.


Atas dasar itu, Imam berpendapat permintaan maaf dari presiden akan mempermudah dituntaskannya kasus pelanggaran HAM masa lalu lewat rekonsiliasi antar pihak yang bertikai. Menurutnya, rekonsiliasi adalah cara yang paling tepat saat ini dalam menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu. “Permintaan maaf dari presiden mempermudah terwujudnya itu,” ungkapnya.


Lebih memilih proses rekonsiliasi ketimbang mekanisme lainnya, menurut Imam, cara terbaik yang dapat dilakukan. Soalnya, perangkat dalam pengadilan HAM ad hoc menurutnya masih terdapat kekurangan. Imam melihat perangkat hukum dalam pengadilan HAM belum mampu menyentuh secara dalam kasus pembantaian massal 1965–1966. Jika mekanisme itu digunakan, dia khawatir penyelesaian kasus tersebut tidak akan memperoleh hasil maksimal.


Imam mencontohkan, dalam KUHAP persoalan yang berkaitan dengan pelanggaran HAM hanya dilihat sebagai kriminal biasa. Untuk mampu menjamah lebih dalam pelanggaran HAM yang terjadi, Imam melanjutkan, Indonesia perlu meratifikasi Statuta Roma. Dalam konvensi internasional itu, Imam menyebut mekanisme penegakan hukum untuk pelanggaran HAM berat, lebih diatur secara rinci dan ketat. Jika konvensi itu disahkan maka pengadilan HAM akan berjalan lebih baik dalam menuntaskan kasus pelanggaran HAM berat.


Tags: