BPHN: Ada Advokat dan Kampus Palsukan Data Demi Dana Bantuan Hukum
Utama

BPHN: Ada Advokat dan Kampus Palsukan Data Demi Dana Bantuan Hukum

Integritas, etika, dan moral masih menjadi persoalan.

Normand Edwin Elnizar
Bacaan 2 Menit
  1. Kasus atas nama advokat yang tidak bekerja di OBH namun diakui sebagai pekerjaan OBH;
  2. Kasus atas nama OBH lain diakui sebagai pekerjaan OBH;
  3. Kasus atas nama kantor hukum profesional diakui sebagai pekerjaan OBH;
  4. Klien bukan kalangan miskin;
  5. Isi berkas perkara yang ditangani berbeda dengan judul perkara;
  6. Pemalsuan dokumen dalam berbagai modus:
  1. Pemalsuan stempel kepolisian;
  2. Surat kuasa setelah putusan pengadilan;
  3. Mengedit putusan dan penunjukan hakim;
  4. Memanipulasi foto kegiatan penyuluhan hukum;
  5. Kantor berubah menjadi butik, toko, rumah dijual;
  6. Kantor tidak representatif/tidak layak;
  7. Manipulasi tandatangan surat kuasa dan peserta penyuluhan hukum;
  1. Penerima bantuan hukum tidak benar-benar didampingi oleh advokat;
  2. Menerima uang dari penerima bantuan hukum

 

Padahal, larangan menerima atau meminta pembayaran dari penerima bantuan hukum untuk perkaranya telah diancam dengan ketentuan pidana dalam UU Bantuan Hukum. Ada ancaman pidana penjara paling lama satu tahun atau denda paling banyak Rp50.000.000 berdasarkan pasal 21 UU Bantuan Hukum.

 

Yosep Adi Prasetyo, anggota panitia verifikasi dan akreditasi yang juga menjabat Ketua Dewan Pers menyatakan dengan tegas bahwa mereka menarapkan zero tolerance terhadap kecurangan dan manipulasi dalam akreditasi. Terbukti dari 864 OBH yang baru pertama kali mengajukan diri untuk didanai hanya lulus sebanyak 192 OBH.

 

Sedangkan dari 405 OBH yang telah mendapatkan pendanaan pada periode tahun 2016-2018 hanya 332 OBH yang lulus akreditasi ulang. Jumlah total OBH yang ada dalam daftar BPHN sebagai penerima pendanaan pemerintah untuk periode 2019-2021 sebanyak 524 OBH.

 

Baca:

 

Sayangnya, Kepala BPHN Benny Riyanto menyatakan, pihaknya tidak akan meneruskan temuan penyimpangan ini kepada pihak yang berwenang. Penyimpangan tersebut hanya menjadi bahan penilaian untuk mengurangi nilai dalam proses akreditasi. Namun, panitia verifikasi dan akreditasi tidak menutup kemungkinan membagikan data-data tersebut jika dibutuhkan. Hingga berita ini dimuat, Hukumonline telah mencoba beberapa kali memperoleh data lengkap namun akhirnya ditolak oleh Kepala Pusat Penyuluhan dan Bantuan Hukum BPHN, Djoko Pudjirahardjo.

 

“Data spesifik belum bisa kami sampaikan (ke media massa). Jika organisasi advokat ingin tahu dan bermaksud menegakkan aturan sekaligus integritas anggotanya tentu akan kami berikan,” kata Djoko melalui pesan teks terakhirnya saat menanggapi permintaan Hukumonline, Selasa (8/12) malam.

 

Panitia verifikasi dan akreditasi OBH periode 2019-2021 dilakukan oleh tujuh orang berdasarkan syarat UU Bantuan Hukum serta dibantu kelompok kerja BPHN. Mereka adalah Yosep Adi Prasetyo (tokoh masyarakat, Ketua Dewan Pers), Kartini Istikomah (akademisi, pernah menjabat Komisioner Ombudsman 2011-2016), Taswem Tarib (akademisi, pernah menjabat Kepala Kantor Wilayah Kemenkumham Provinsi DKI Jakarta), Choky Risda Ramadhan (akademisi, Ketua Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia), Asfinawati (advokat publik, Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia), serta perwakilan BPHN masing-masing Kepala BPHN dan Kepala Pusat Penyuluhan dan Bantuan Hukum BPHN.

Tags:

Berita Terkait