BPHN: Ada Advokat dan Kampus Palsukan Data Demi Dana Bantuan Hukum
Utama

BPHN: Ada Advokat dan Kampus Palsukan Data Demi Dana Bantuan Hukum

Integritas, etika, dan moral masih menjadi persoalan.

Normand Edwin Elnizar
Bacaan 2 Menit
Kepala BPHN bersama panitia verifikasi dan akreditasi OBH saat konferensi pers di Jakarta. Foto: NEE
Kepala BPHN bersama panitia verifikasi dan akreditasi OBH saat konferensi pers di Jakarta. Foto: NEE

Panitia verifikasi dan akreditasi organisasi bantuan hukum (OBH) menemukan banyak upaya memanipulasi data yang dilakukan advokat dan kampus hukum agar bisa lolos mendapatkan pendanaan dari pemerintah. Hal ini disampaikan dalam konferensi pers Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN), Jumat (4/1) di Kementerian Hukum dan HAM.

 

“Kami temui banyak manipulasi, ujungnya tidak ada integritas, etika dan moral tidak baik,” kata Taswem Tarib, salah satu anggota panitia verifikasi dan akreditasi di hadapan awak media.

 

Verifikasi dan akreditasi adalah kewajiban berdasarkan UU No.16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum (UU Bantuan Hukum) untuk dilakukan setiap tiga tahun. Panitia khusus diminta menilai serta menetapkan kelayakan calon pemberi bantuan hukum berdasarkan standar pemerintah. Penilaian ini meliputi bentuk lembaga yang harus badan hukum, jumlah personel, dan portofolio dalam keaktifan memberikan bantuan hukum.

 

Lebih lanjut Taswem menyayangkan manipulasi data yang dilakukan oleh OBH yang telah menerima pendanaan pemerintah pada periode tahun 2016-2018. “Ini adalah uang negara yang digunakan pihak OBH, ujungnya bisa termasuk korupsi,” ia menambahkan. Hal ini karena menurut Taswem anggaran pendanaan OBH berasal dari APBN. Oleh karena itu, setiap rupiah yang digunakan harus dapat dipertanggungjawabkan sesuai ketentuan undang-undang.

 

Perbuatan tercela tersebut juga ditemukan pada sejumlah OBH yang baru pertama kali mengajukan diri untuk mendapatkan pendanaan pemerintah. Kepala Pusat Penyuluhan dan Bantuan Hukum BPHN, Djoko Pudjirahardjo, yang juga anggota panitia verifikasi dan akreditasi mengaku kecewa karena bahkan ada lembaga bantuan hukum milik kampus juga melakukan penyimpangan.

 

“Yang sangat kami sesalkan, ada perguruan tinggi yang memalsukan data, kan sangat menyedihkan sekali. Sudah perguruan tinggi, terkait bantuan hukum masyarakat miskin masih ada yang memalsukan data,” kata Djoko kepada Hukumonline usai konferensi pers.

 

Berdasarkan catatan yang diumumkan BPHN, berikut beberapa upaya memanipulasi data yang ditemukan menyimpang dari ketentuan undang-undang:

  1. Kasus atas nama advokat yang tidak bekerja di OBH namun diakui sebagai pekerjaan OBH;
  2. Kasus atas nama OBH lain diakui sebagai pekerjaan OBH;
  3. Kasus atas nama kantor hukum profesional diakui sebagai pekerjaan OBH;
  4. Klien bukan kalangan miskin;
  5. Isi berkas perkara yang ditangani berbeda dengan judul perkara;
  6. Pemalsuan dokumen dalam berbagai modus:
  1. Pemalsuan stempel kepolisian;
  2. Surat kuasa setelah putusan pengadilan;
  3. Mengedit putusan dan penunjukan hakim;
  4. Memanipulasi foto kegiatan penyuluhan hukum;
  5. Kantor berubah menjadi butik, toko, rumah dijual;
  6. Kantor tidak representatif/tidak layak;
  7. Manipulasi tandatangan surat kuasa dan peserta penyuluhan hukum;
  1. Penerima bantuan hukum tidak benar-benar didampingi oleh advokat;
  2. Menerima uang dari penerima bantuan hukum

 

Padahal, larangan menerima atau meminta pembayaran dari penerima bantuan hukum untuk perkaranya telah diancam dengan ketentuan pidana dalam UU Bantuan Hukum. Ada ancaman pidana penjara paling lama satu tahun atau denda paling banyak Rp50.000.000 berdasarkan pasal 21 UU Bantuan Hukum.

 

Yosep Adi Prasetyo, anggota panitia verifikasi dan akreditasi yang juga menjabat Ketua Dewan Pers menyatakan dengan tegas bahwa mereka menarapkan zero tolerance terhadap kecurangan dan manipulasi dalam akreditasi. Terbukti dari 864 OBH yang baru pertama kali mengajukan diri untuk didanai hanya lulus sebanyak 192 OBH.

 

Sedangkan dari 405 OBH yang telah mendapatkan pendanaan pada periode tahun 2016-2018 hanya 332 OBH yang lulus akreditasi ulang. Jumlah total OBH yang ada dalam daftar BPHN sebagai penerima pendanaan pemerintah untuk periode 2019-2021 sebanyak 524 OBH.

 

Baca:

 

Sayangnya, Kepala BPHN Benny Riyanto menyatakan, pihaknya tidak akan meneruskan temuan penyimpangan ini kepada pihak yang berwenang. Penyimpangan tersebut hanya menjadi bahan penilaian untuk mengurangi nilai dalam proses akreditasi. Namun, panitia verifikasi dan akreditasi tidak menutup kemungkinan membagikan data-data tersebut jika dibutuhkan. Hingga berita ini dimuat, Hukumonline telah mencoba beberapa kali memperoleh data lengkap namun akhirnya ditolak oleh Kepala Pusat Penyuluhan dan Bantuan Hukum BPHN, Djoko Pudjirahardjo.

 

“Data spesifik belum bisa kami sampaikan (ke media massa). Jika organisasi advokat ingin tahu dan bermaksud menegakkan aturan sekaligus integritas anggotanya tentu akan kami berikan,” kata Djoko melalui pesan teks terakhirnya saat menanggapi permintaan Hukumonline, Selasa (8/12) malam.

 

Panitia verifikasi dan akreditasi OBH periode 2019-2021 dilakukan oleh tujuh orang berdasarkan syarat UU Bantuan Hukum serta dibantu kelompok kerja BPHN. Mereka adalah Yosep Adi Prasetyo (tokoh masyarakat, Ketua Dewan Pers), Kartini Istikomah (akademisi, pernah menjabat Komisioner Ombudsman 2011-2016), Taswem Tarib (akademisi, pernah menjabat Kepala Kantor Wilayah Kemenkumham Provinsi DKI Jakarta), Choky Risda Ramadhan (akademisi, Ketua Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia), Asfinawati (advokat publik, Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia), serta perwakilan BPHN masing-masing Kepala BPHN dan Kepala Pusat Penyuluhan dan Bantuan Hukum BPHN.

Tags:

Berita Terkait