Kurator merupakan perangkat hukum penting dalam penyelesaian perkara kepailitan. Berdasarkan UU No 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU), adalah balai harta peninggalan atau orang perseorangan yang diangkat oleh pengadilan untuk mengurus dan membereskan harta debitur pailit di bawah pengawasan hakim pengawas.
Sebagaimana diatur dalam Pasal 15 ayat (2) UU Kepailitan, kurator diajukan oleh debitur atau kreditur pailit. Dalam hal debitur atau kreditur pailit tidak mengajukan usulan ke Pengadilan untuk pengangkatan kurator, maka Balai Harta Peninggalan yang akan ditunjuk sebagai kurator.
Pengangkatan Kurator termuat dalam Putusan Pernyataan Pailit (pasal 15 ayat (1) UU Kepailitan). Kurator yang diangkat harus independen, tidak memiliki benturan kepentingan dengan debitor atau kurator dan tidak menangani lebih dari tiga (3) perkara Kepailitan dan PKPU (pasal 15 ayat (3) UU Kepailitan). (Baca: Mengintip Besaran Fee Kurator dan Pengurus dalam Perkara PKPU dan Kepailitan)
Penunjukkan kurator sementara dapat dilakukan selama putusan pernyataan pailit belum diucapkan atas dasar permohonan setiap kreditor, kejaksaan, Bank Indonesia, Badan Pengawas Pasar Modal, atau Menteri Keuangan dengan tugas untuk mengawasi pengelolaan usaha debitur; dan pembayaran kepada kreditur, pengalihan, atau pengagunan kekayaan debitur yang dalam kepailitan merupakan wewenang kurator (Pasal 10 ayat (1) huruf b).
Namun faktanya, dalam proses sengketa kepailitan, sangat dimungkinkan terjadinya penggantian kurator. Hal tersebut pernah terjadi dalam beberapa perkara dengan beragam alasan, salah satunya jika kurator dinilai tidak profesional saat menjalankan tugasnya sebagaimana diatur dalam Pasal 15 ayat (3) tersebut.
Ketua Umum AKPI Jimmy Simanjuntak menjelaskan bahwa prosedur dan mekanisme penggantian kurator di tengah proses kepailitan diatur dalam pasal 71 UU Kepailitan. Pasal tersebut menyatakan bahwa penggantian kurator dapat dilakukan atas permohonan kurator, debitur, dan hakim pengawas.
Pasal 71:
|