Bivitri Susanti: Modal Enam Juta dan Kegelisahan
Edsus Akhir Tahun 2010:

Bivitri Susanti: Modal Enam Juta dan Kegelisahan

Selain menggeluti dunia NGO dan peneliti, Bibip juga sempat terpikir menjadi jurnalis atau hakim.

Abdul Razak Asri
Bacaan 2 Menit

 

Cita-cita Bibip nyaris terwujud ketika seorang senior di firma hukum tempat ia magang menawarkan pekerjaan dengan status permanen. Tawaran menggiurkan itu ia tolak –dan tawaran pekerjaan itu kemudian berubah menjadi tawaran membentuk PSHK-. Penolakan itu, kata Bibip, didorong oleh perubahan cara pandang yang ia alami setelah terlibat dalam aktivitas-aktivitas kampus. Setelah melewati diskusi-diskusi kritis, di kepala Bibip mulai bersemayam pertanyaan “Mau jadi apa saya nanti?”

 

Dan Bibip memutuskan untuk merevisi cita-cita bekerja di firma hukum. Baginya, bekerja di firma hukum adalah bekerja untuk sedikit orang, meski uang yang diperoleh banyak. Sebaliknya, di NGO itu bekerja untuk banyak orang. “Dengan semangat saya yang menggebu-gebu pada 1997-1998, saya butuh kerja untuk banyak orang meski uang sedikit,” tutur Bibip yang juga mengaku sempat terpikir menjadi hakim atau jurnalis.

 

Bicara tentang kiprah figur perempuan lain di bidang hukum, Bibip mencatat ada sejumlah nama yang sebenarnya memiliki semangat pembaruan. Sayangnya, kurang terekspos. Mereka sebagian berprofesi hakim, sebagian lagi berprofesi lawyermendukung kerja-kerja pembaruan dengan caranya masing-masing. Masalahnya, kata Bibip, perempuan, dalam profesi apapun, seringkali punya lebih banyak tantangan yang mungkin menyempitkan pilihan hidupnya ketimbang laki-laki. “Bisa karena keluarga, tekanan sosial yang salah kaprah tentang kodrat, dan lain-lain,” paparnya.

 

Melihat catatan kiprahnya selama kurang lebih 12 tahun, Bibip tentunya sangat layak diberi label sebagai seorang aktivis NGO plus peneliti perempuan terkemuka di negeri ini. Kini, Bibip tengah merantau di Amerika Serikat. Di Negeri Paman Sam itu, selain mengejar titel Doctor of Philosophy (Phd), Bibip juga tengah mengikuti saran salah seorang tokoh yang ia kagumi, mendiang Daniel Saul Lev. “Seperti nasehat Alm. Dan Lev yang selalu saya ingat, saya perlu mengambil jarak sejenak dari Indonesia agar bisa berpikir jernih.”

 

Studi program Phd telah diikuti Bibip sejak September 2008 lalu. Normalnya, dalam beberapa tahun lagi, Bibip akan merampungkan studinya di Amerika Serikat. Lalu, apa rencananya setelah itu? Bibip hanya menjawab gamang, “Terus terang saya belum tahu, karena saya sedang di persimpangan jalan karena sekolah dan keluarga kecil saya.”

 

Satu hal yang pasti, Bibip bertekad akan terus memelihara “kegelisahan” yang selama ini ia rasakan. Hal ini, menurutnya, perlu dilakukan demi menjaga sikap kritis dan integritas. “Kegelisahan perlu saya pelihara supaya sedikit waras dan juga butuh ‘saluran’,” dia menambahkan.

Tags:

Berita Terkait