Berlakukah Hukum Asing untuk Sengketa Kontrak Internasional di Indonesia?
Kolom

Berlakukah Hukum Asing untuk Sengketa Kontrak Internasional di Indonesia?

Pilihan Hukum bukan merupakan topik yang populer dalam hukum Indonesia, meskipun praktik hukum kontrak, terutama yang bersifat lintas batas negara, tidak selalu bisa dilepaskan dari topik ini.

Bacaan 2 Menit

 

Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat sangat menarik perhatian karena selain mengabulkan gugatan PT PM, ternyata dipertimbangkan pula segi-segi Hukum Perdata Internasional dari sengketa ini. Majelis Hakim di tingkat pertama dan kedua dalam sengketa ini juga telah merujuk ketentuan hukum pengangkutan laut Inggris sebagai hukum yang berlaku untuk sengketa ini. Meskipun tidak dapat secara bulat kita nyatakan bahwa hakim memberlakukan hukum Inggris dalam sengketa ini, sebab dalam merujuk hukum Inggris, hakim juga mencari kesesuaiannya dengan hukum Indonesia.

 

Sebagai contoh, dalam menentukan apakah PT AHAP sebagai penanggung asuransi bertanggung jawab atas kerugian kebakaran kapal PT PM, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat merujuk ketentuan Marine Insurance Act 1906 yang mengatur bahwa penanggung asuransi, sebagai pihak dalam kontrak asuransi, terikat dan wajib untuk menanggung kerugian total dari hal-hal yang diasuransikan disebabkan oleh kebakaran dan ledakan maupun kelalaian Nahkoda, perwira atau anak buah kapal.

 

Hakim juga kemudian merujuk pasal 1338 dan 1340 BW yang menyatakan bahwa kontrak asuransi ini mengikat sebagai undang-undang bagi para pihak dan hanya berlaku antara para pihak yang menyepakatinya, serta tidak dapat membawa kerugian kepada pihak ketiga. Dengan merujuk ketentuan Marine Insurance Act 1906 dan dua pasal dalam BW ini majelis hakim menegaskan bahwa sudah tepat langkah PT PM untuk mengajukan gugatan wanprestasi kepada PT AHAP, bukan kepada pihak lain seperti nahkoda dari KM Bayu Prima.

 

Contoh kedua, sehubungan dengan penolakan PT AHAP untuk membayar klaim asuransi kepada PT PM, majelis hakim merujuk pada ketentuan Pasal 23 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Perusahaan Perasuransian yang menentukan bahwa perusahaan asuransi dilarang menghambat pembayaran klaim pihak tertanggung. Lagi-lagi dalam merujuk ketentuan tersebut, majelis hakim juga mempertimbangkan Marine Insurance Act 1906 yang juga mewajibkan penanggung membayar klaim dari tertanggung sesuai dengan jumlah yang ditanggungnya.

 

Sekali lagi patut diapresiasi usaha majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan Pengadilan Tinggi Jakarta untuk memperhatikan segi-segi hukum perdata internasional dalam sengketa ini dan mengutip pula ketentuan hukum pengangkutan laut Inggris karena para pihak telah memilih hukum Inggris sebagai hukum yang berlaku untuk kontrak asuransi yang disengketakan.

 

Sayangnya, hal yang sudah diputuskan dengan baik ini kemudian dibatalkan oleh Majelis Hakim di tingkat kasasi dengan dasar pertimbangan yang kurang tepat. Meskipun hukum Inggris telah dipilih sebagai hukum yang berlaku untuk kontrak asuransi yang disepakati PT PM dan PT AHAP, tidak dengan sendirinya forum pengadilan yang berwenang mengadili perkara ini adalah pengadilan Inggris. Sebab ada pembedaan yang jelas antara pilihan hukum Inggris dan pengadilan yang berwenang untuk mengadili sengketa ini.

 

Hukum Inggris dipakai sebagai hukum materiil untuk menyelesaikan sengketa ini, tetapi bisa saja pengadilan lain, dalam hal ini pengadilan Indonesia, sebagai tempat kedudukan dari PT AHAP sebagai tergugat, yang mengadili perkara ini dengan menggunakan hukum materiil Inggris. Sementara itu, untuk hukum acaranya tentu tetap digunakan hukum acara perdata yang berlaku di Indonesia.

 

Melalui sengketa ini kita diyakinkan bahwa Pilihan Hukum bukanlah topik yang populer di Indonesia. Setidaknya ada dua poin penting yang dipahami secara tidak tepat mengenai Pilihan Hukum dalam sengketa ini. Pertama, hukum yang dipilih disalahartikan sebagai pemilihan terhadap hukum prosedural atau hukum acara. Padahal, Pilihan Hukum hanya terbatas pada hukum materiil dari hukum asing yang dipilih, tidak termasuk hukum formilnya. Kedua, pemahaman mengenai Pilihan Hukum dan Pilihan Forum yang dicampuradukkan, sehingga secara serampangan Pilihan Hukum diartikan pula sebagai pula Pilihan Forum.

 

*)Priskila P. Penasthika adalah Dosen tetap di bidang hukum perdata internasional pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Saat ini sedang menjalankan studi doktoralnya pada Erasmus Graduate School of Law di Erasmus University Rotterdam, Belanda. Tulisan ini merupakan pandangan pribadi Penulis dan tidak mewakili pandangan institusi.

 

Catatan Redaksi:

Artikel Kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline

Tags:

Berita Terkait