Benturan Aliran Hukum dalam Sengketa Pilpres
Berita

Benturan Aliran Hukum dalam Sengketa Pilpres

Secara substansial, penjelasan ahli dari pihak terkait untuk menjawab argumentasi pendekatan progresif yang digunakan oleh Pemohon.

Moh. Dani Pratama Huzaini
Bacaan 2 Menit

 

“Kuasa Hukum Pemohon secara implisit mengakui tidak ada kesalahan dalam perhitungan atau rekapitulasi Pemilihan Presiden yang dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum,” ujar akademisi dari UGM Yogyakarta itu.

 

Selain itu dalam menjelaskan perbedaan antara sengketa hasil dengan sengketa proses, ahli menggunakan ketentuan UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang membagi kewenangan MK dan Bawaslu. Menurut UU Pemilu, MK berwenang memeriksa sengketa hasil, sedangkan Bawaslu adalah lembaga yang berwenang memeriksa sengketa proses. Ahli berpandangan bahwa Pemohon mencampuradukkan antara sengketa proses pemilu dengan perselisihan hasil pemilu.

 

“Kuasa Hukum Pemohon tidak hendak menyoal tentang hasil perhitungan suara yang merupakan kewenangan Mahkamah Konstitusi, tetapi justru mempersoalkan hal lain di luar kewenangan Mahkamah Konstitusi,” ujar Ahli.

 

Nalar Instrumental

Melihat keterbelahan paradigma yang terjadi sepanjang sidang sengketa PHPU Pilpres, penulis buku sengketa mazhab hukum, Muji Kartika Rahayu kepada hukumonline menyampaikan padangannya. Menurut perempuan yang kerap disapa Kanti ini, para pihak yang sedang bersengketa di PHPU Pilpres kali ini hanya menggunakan nalar instrumental, tidak lebih. Artinya, penggunaan paradigma, pendekatan, atau teori yang menjadi dasar para pihak mengkontstruksi permohonan atau jawaban mereka pada ujungnya berorientasi tujuan yang ingin dicapai.

 

“Saya berfikir untuk memenangkan persidangan hakimnya harus progresif, maka pendekatan itu yang dipakai. Begitupun jika untuk memenangkan persidangan hakimnya harus formalis maka saya akan menggunakan pendekatan demikian,” ujar Kanti.

 

Ia berpendapat fenomena keterbelahan paradigma di persidangan MK tersebut bisa terjadi karena hukum hanya diandang sebagai alat untuk mencapai tujuan. Hal ini akan berbanding terbalik situasinya seandainya hukum dipandang sebagai alat untuk mencapai tegakknya hukum itu sendiri. Diskursus semacam ini menurut Kanti telah lama menjadi tema di tengah-tengah ilmuan hukum atau bahkan di lingkungan ilmuan sosial.

 

Untuk itu, sebagai langkah untuk menjelaskan identitas kelompok yang terbelas tersebut, Kanti mengidentifikasi Pemohon menganut paham realis yang dalam prosesnya kerap membangun argumentasi sebagaimana yang digunakan oleh Pemohon. Misalnya hakim harus lebh progresif, tidak hanya bertindak sebagai ‘mahkamah kalkulator’, dan seterusnya. Sementara untuk pihak termohon dan pihak terkait, Kanti mengidentifikasi pihak ini dengan formalis. “Dua-duanya itu naming of reality,” ujar Kanti.

Tags:

Berita Terkait