Benturan Aliran Hukum dalam Sengketa Pilpres
Berita

Benturan Aliran Hukum dalam Sengketa Pilpres

Secara substansial, penjelasan ahli dari pihak terkait untuk menjawab argumentasi pendekatan progresif yang digunakan oleh Pemohon.

Moh. Dani Pratama Huzaini
Bacaan 2 Menit

 

Tidak terbatas hanya pada proses penghitungan suara saja tetapi seluruh tahapan, khususnya jika ada kecurangan pemilu (electoral fraud) yang sifatnya TSM, karena bisa menciderai asas-asas pemilu yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil, sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 22E ayat (1) UUD 1945. “Pendekatan substantive justice akan menyelamatkan kehidupan berbangsa dan bernegara dari potensi kehancuran akibat kecurangan dan ketidakadilan yang terjadi dari pelaksanaan pemilu”.

 

Posisi Pemohon yang lebih memilih Mahkamah untuk memeriksa setiap kecurangan TSM yang terjadi di semua tahapan proses pemilu, dipandang sejalan dengan original intent perubahan UUD 1945, beberapa Putusan MK sendiri, serta pendapat ahli sejumlah ahli. Membangun argumentasi ini, Pemohon mengutip disertasi Refly Harun yang menyimpulkan bahwa para perumus Perubahan UUD 1945 sama sekali tidak berniat membatasi kewenangan MK berdasrkan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 untuk memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum hanya pada perselisihan penghitungan suara yang mempengaruhi hasil pemilu.

 

Dalam konteks ini, MK adalah pengawal kontitusi (the guardian of the constitution). Artinya, setiap kewenangan MK termasuk di dalamnya untuk menyelesaikan perselisihan tentang hasil pemilihan umum harus dimaknai dalam kerangka menjaga konstitusi. Dalam konteks Pemilu, yang harus dijaga oleh MK adalah konstitusionalitas Pemilu itu sendiri. Dalam penjelasannya, konstitusionalitas Pemilu  adalah Pemilu yang dilandasi nilai-nilai yang tercantum dalam UUD 1945, luber, jurdil, dan demokratis.

 

Mengutip disertasi itu, pemohon menjelaskan kewenangan MK dalam memutus perselisihan hasil Pemilu sebagaimana yang dirumuskan dalam pasal 24C ayat (1) perubahan Ketiga UUD 1945 sesungguhnya berarti MK memutus konstitusionalitas penyelenggaraan Pemilu. Pemohon beranggapan sudah ada preseden bahwa MK dapat memeriksa di luar hasil penghitungan suara. Meskipun kali itu, MK mengadili sengketa di level pemilihan kepala daerah, namun Pemohon menilai pada hakikatnya tetap sama. MK sedang memilih untuk menjadi penjaga konstitusi.

 

Interpretasi Gramatikal

Di sisi yang berbeda, hukumonline mencatat beberapa hal yang menjadi bagian dari penjelasan ahli pihak terkait. Secara substansial, penjelasan ahli dari Pihak Terkait (paslon nomor urut 01) untuk menjawab argumentasi pendekatan progresif yang digunakan oleh Pemohon.

 

Terkait pemaknaan Pasal 24C misalnya, ahli pihak terkait yang dihadirkan, Edward O.S Hiarij, dalam menjelaskan makna dari Pasal 24C menggunakan interpretasi gramatikal sehingga menilai seharusnya Pemohon membangun argumentasi permohonannya berkaitan dengan hasil perhitungan suara saja.

 

Guru Besar Hukum Pidana itu menafsirkan kata ‘perselisihan’ dalam Pasal 24C sebagai selisih suara bukan tentang sengketa proses Pemilu. Oleh karena itu, ahli yang dihadirkan oleh pihak terkait menilai kuasa hukum Pemohon tidak hendak menyoal tentang hasil perhitungan suara saja yang merupakan kewenangan MK. Dengan mempersoalkan proses penyelenggaraan Pemilu, ahli menilai Pemohon justu mempersoalkan hal lain di luar kewenangan MK. Ahli berpendapat pendekatan Pemohon tidak sesuai.

Tags:

Berita Terkait