Benny Wenda Deklarasi Bentuk Pemerintahan, Bisakah Dianggap Makar?
Berita

Benny Wenda Deklarasi Bentuk Pemerintahan, Bisakah Dianggap Makar?

Sebagian kalangan menilai jerat pasal makar sering disalahpahami dalam praktik karena ada kesalahan memaknai konsep makar atau aanslag yang diartikan sebagai unsur adanya serangan. Tapi, MK berpendapat delik makar cukup disyaratkan adanya niat dan perbuatan permulaan pelaksanaan.

Rofiq Hidayat
Bacaan 5 Menit

Menurutnya, kesalahan memaknai konsep makar mungkin terjadi karena kesalahan memaknai kata aanslag sebagai makar. Padahal, istilah makar berasal dari bahasa Belanda yaitu aanslag yang berarti penyerangan atau serangan. Sedangkan, definisi makar dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia adalah akal buruk, tipu muslihat atau perbuatan dengan maksud hendak membunuh orang. Makar juga bisa diartikan perbuatan menggulingkan pemerintahan yang sah (kudeta).

Pengajar Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Jentera, Anugerah Rizky Akbar menilai bahasa Belanda merupakan bahasa asli dari Pasal 104, Pasal 106, Pasal 107, Pasal 139a dan Pasal 139b dan Pasal 140 KUHP. Aanslag dalam bahasa Belanda lebih bermakna sebagai penyerangan, maka makar yang dimaksudkan dalam KUHP Indonesia mengharuskan adanya unsur penyerangan. 

“Jika orang itu baru berniat dan belum melakukan serangan, pasal makar tidak bisa dijatuhkan kepadanya,” ujar Pengajar Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Jentera, Anugerah Rizky Akbar.

Tak heran, pasal-pasal makar dalam KUHP pernah beberapa kali dipersoalkan di MK. Salah satu permohonannya, beberapa warga Papua, korban yang pernah dipidana dengan pasal-pasal makar yakni Hans Wilson Wader, Meki Elosak, Jemi Yermias Kapanai alias Jimi Sembay melayangkan uji Pasal 104, Pasal 106, Pasal 107, Pasal 108 dan Pasal 110 KUHP pada pertengahan Juli 2017.

Para pemohon ini merasa dirugikan berlakunya pasal-pasal makar itu digunakan pemerintah untuk mengkriminalisasi. Sebab, selama ini aspirasi warga negara untuk menyuarakan kritik terhadap pemerintah dapat terancam pidana dengan berlakunya rumusan pasal-pasal tersebut. Menurutnya, pasal-pasal itu bersifat karet, fleksibel, multitafsir yang cenderung bisa digunakan penguasa membungkam masyarakat yang mengkritiknya yang memunculkan ketidakpastian hukum. Karena itu, para pemohon menginginkan pasal-pasal itu dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat karena bertentangan dengan UUD Tahun 1945.    

Hanya saja, melalui Putusan MK No. 28/PUU-IV/2017 ini, MK menyatakan tidak menerima dan menolak pengujian Pasal 104, Pasal 106Pasal 107, Pasal 108, dan Pasal 110 KUHP yang dimohonkan warga Papua yakni Hans Wilson Wader, Meki Elosak, Jemi Yermias Kapanai alias Jimi Sembay. Mereka merupakan korban yang pernah dipidana dengan pasal-pasal makar. (Baca Juga: Delik Makar Kembali Dipersoalkan)

Dalam pertimbangan putusannya, Mahkamah menilai delik makar cukup disyaratkan adanya niat dan perbuatan permulaan pelaksanaan, sehingga dengan terpenuhinya syarat itu terhadap pelaku (makar) telah dapat dilakukan tindakan oleh penegak hukum. Cukup bagi aparat penegak hukum untuk melakukan tindakan hukum terhadap pelaku makar, tidak perlu adanya perbuatan yang nyata-nyata terdapat serangan (aanslag atau serangan nyata).

Tak hanya itu, tidak terdapat koherensi dan penalaran yang wajar bahwa norma pasal-pasal makar dalam KUHP bertentangan dengan hak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat dan harta benda yang berada di bawah kekuasaan seseorang, serta hak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan. Karena itu, pengaturan pasal-pasal a quo telah sejalan dan tidak bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD Tahun 1945.

Hanya saja, Mahkamah mengingatkan penegak hukum harus bertindak hati-hati dalam menerapkan pasal-pasal makar atau kejahatan terhadap negara ini agar tidak menjadi alat untuk membungkam kebebasan menyampaikan pendapat (berekspresi) dalam negara demokrasi. “Atas dasar seluruh pertimbangan ini, permohonan pemohon tidak beralasan menurut hukum.”

Tags:

Berita Terkait