Benny Wenda Deklarasi Bentuk Pemerintahan, Bisakah Dianggap Makar?
Berita

Benny Wenda Deklarasi Bentuk Pemerintahan, Bisakah Dianggap Makar?

Sebagian kalangan menilai jerat pasal makar sering disalahpahami dalam praktik karena ada kesalahan memaknai konsep makar atau aanslag yang diartikan sebagai unsur adanya serangan. Tapi, MK berpendapat delik makar cukup disyaratkan adanya niat dan perbuatan permulaan pelaksanaan.

Rofiq Hidayat
Bacaan 5 Menit
Dalam aksi ini polisi membubarkan pengunjuk rasa yang menuntut pemerintah Indonesia untuk menggelar referendum di seluruh wilayah Papua.
Dalam aksi ini polisi membubarkan pengunjuk rasa yang menuntut pemerintah Indonesia untuk menggelar referendum di seluruh wilayah Papua.

Ketua The United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) Benny Wenda mendeklarasikan “pemerintahan sementara” pada 1 Desember 2020. Dalam deklarasi yang dirilis di laman resmi ULMWP, Benny Wenda mengklaim memiliki konstitusi sendiri, hukum sendiri, dan pemerintahan sendiri. Menurut Wenda, kehadiran Indonesia di West Papua adalah ilegal dan oleh karenanya mereka menolak hukum apapun yang berasal dari Jakarta.

Bagi Wenda, pengumuman itu menandai intensifikasi perjuangan melawan Indonesia di wilayah West Papua yang berlangsung sejak tahun 1963. Selain itu, melalui akun Twitternya, Selasa (1/12/2020), Benny Wenda mengumumkan pembentukan Pemerintahan Sementara Papua Barat dan mengklaim dirinya sebagai presiden sementara Negara Republik Papua Barat (NRPB).

Sontak, beberapa pejabat Indonesia reaktif menyikapi deklarasi pembentukan pemerintahan sementara ini. Salah satunya, Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD. Dia menilai Benny Wenda melakukan tindakan makar dengan mendeklarasikan pemerintahan sementara di Papua Barat yang dipimpinnya sendiri sebagai presiden.

"Dia telah melakukan makar. Bahkan, Ketua MPR (Bambang Soesatyo) menyebut sudah mempunyai niat dan sudah melangkah untuk melakukan makar. Pemerintah menanggapi itu dengan meminta Polri melakukan penegakan hukum," ujar Mahfud di Kantor Kemenkopolhukam, Kamis (3/12/2020) seperti dikutip Antara. (Baca Juga: Pakar: Pemerintahan Benny Wenda Tak Berdasarkan Hukum Internasional)

Menurut dia, Polri akan melakukan penindakan secara hukum atas tindakan makar Benny Wenda. "Makar itu kalau skalanya kecil cukup gakkum, penegakan hukum. Tangkap, gunakan pasal-pasal tentang kejahatan keamanan negara. Jadi, cukup gakkum," kata Mahfud.

Mahfud menilai Benny Wenda mendeklarasikan negara ilusi karena tidak memenuhi syarat-syarat sah berdirinya suatu negara. "Menurut kami, Benny Wenda ini membuat negara ilusi, negara yg tidak ada dalam faktanya. Negara Papua Barat itu apa?" kata mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) itu.

Dia menjelaskan syarat berdirinya sebuah negara setidaknya ada tiga yakni rakyat, wilayah, dan pemerintah, kemudian ditambah pengakuan dari negara lain. "Syarat itu ada rakyat yang dia kuasai, ada wilayah yang dia kuasai, kemudian ada pemerintahan. Dia tidak ada, rakyatnya siapa? Dia memberontak. Wilayahnya kita yang menguasai. Pemerintah, siapa yang mengakui dia pemerintah? Orang Papua sendiri tidak juga mengakui," ungkapnya.

Mantan Ketua MK ini mengingatkan Papua melalui referendum pada 1969 sudah final dan sah menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Referendum ini berlangsung pada November 1969 tersebut dan disahkan Majelis Umum PBB bahwa Papua itu bagian dari kedaulatan Indonesia. "Karena itu tidak akan ada (referendum) lagi, PBB tidak mungkin membuat keputusan dua kali dalam hal yang sama," katanya.

Ketua MPR, Bambang Soesatyo menilai pemerintah menilai Wenda dan para pengikutnya yang mendeklarasikan kemerdekaan Papua Barat dengan sangat jelas telah melakukan tindakan makar. Karena itu, pemerintah harus mengambil tindakan penegakan hukum yang tegas dan terukur untuk menjaga kedaulatan NKRI.   

Soesatyo juga menilai klaim deklarasi kemerdekaan Papua Barat yang dikemukakan Wenda yang mengatasnamakan Gerakan Persatuan Pembebasan Papua Barat, serta penunjukan dirinya sebagai presiden sementara Papua Barat, merupakan tindakan agitasi dan propaganda yang tak lain bertujuan memecah-belah bangsa Indonesia. "Benny Wenda tak lagi berstatus warga negara Indonesia. Ia tidak memiliki kewarganegaraan. Ia hanya memiliki izin tinggal dari pemerintah Inggris.”

Lalu, bisakah tindakan Benny Wenda ini dijerat tindak pidana atau delik makar dalam arti ingin memisahkan dari NKRI sebagaimana diatur Pasal 106 KUHP?   

Definisi makar bisa ditemukan dalam Pasal 87 KUHP. Pasal 87 KUHP menyebutkan,Dikatakan ada makar untuk melakukan suatu perbuatan, apabila niat untuk itu telah ternyata dari adanya permulaan pelaksanaan.” Sedangkan perbuatan atau beberapa jenis tindak pidana makar diatur dalam Buku II KUHP (Kejahatan) pada Bab I tentang Kejahatan Terhadap Keamanan Negara dalam Pasal 104 sampai Pasal 129. Misalnya, kejahatan terhadap presiden dan wakil presiden; kejahatan terhadap pemerintah/badan pemerintah; pemberontakan terhadap pemerintahan yang sah. (Baca Juga: Ada Kekeliruan Pemahaman tentang Makar)

Salah satunya, Pasal 106 KUHP menyebutkan “makar dengan maksud supaya seluruh atau sebagian wilayah negara jatuh ke tangan musuh atau memisahkan sebagian dari wilayah negara, diancam dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara sementara paling lama 20 (dua puluh) tahun”.

Disalahpahami

Hanya saja, sebagian kalangan menilai jerat pasal makar sering disalahpahami dalam praktik. Dalam sebuah diskusi yang digelar Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) tahun lalu, Peneliti Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP), Arsil menilai tindakan makar dalam konstruksi sejumlah pasal dalam KUHP bukan sebagai delik pidana. Makar hanya salah satu unsur dari keseluruhan pasal yang mengatur delik tindak pidana. “Makar itu (bukan tindak pidana),” ujarnya kepada Hukumonline.  

Menurutnya, kesalahan memaknai konsep makar mungkin terjadi karena kesalahan memaknai kata aanslag sebagai makar. Padahal, istilah makar berasal dari bahasa Belanda yaitu aanslag yang berarti penyerangan atau serangan. Sedangkan, definisi makar dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia adalah akal buruk, tipu muslihat atau perbuatan dengan maksud hendak membunuh orang. Makar juga bisa diartikan perbuatan menggulingkan pemerintahan yang sah (kudeta).

Pengajar Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Jentera, Anugerah Rizky Akbar menilai bahasa Belanda merupakan bahasa asli dari Pasal 104, Pasal 106, Pasal 107, Pasal 139a dan Pasal 139b dan Pasal 140 KUHP. Aanslag dalam bahasa Belanda lebih bermakna sebagai penyerangan, maka makar yang dimaksudkan dalam KUHP Indonesia mengharuskan adanya unsur penyerangan. 

“Jika orang itu baru berniat dan belum melakukan serangan, pasal makar tidak bisa dijatuhkan kepadanya,” ujar Pengajar Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Jentera, Anugerah Rizky Akbar.

Tak heran, pasal-pasal makar dalam KUHP pernah beberapa kali dipersoalkan di MK. Salah satu permohonannya, beberapa warga Papua, korban yang pernah dipidana dengan pasal-pasal makar yakni Hans Wilson Wader, Meki Elosak, Jemi Yermias Kapanai alias Jimi Sembay melayangkan uji Pasal 104, Pasal 106, Pasal 107, Pasal 108 dan Pasal 110 KUHP pada pertengahan Juli 2017.

Para pemohon ini merasa dirugikan berlakunya pasal-pasal makar itu digunakan pemerintah untuk mengkriminalisasi. Sebab, selama ini aspirasi warga negara untuk menyuarakan kritik terhadap pemerintah dapat terancam pidana dengan berlakunya rumusan pasal-pasal tersebut. Menurutnya, pasal-pasal itu bersifat karet, fleksibel, multitafsir yang cenderung bisa digunakan penguasa membungkam masyarakat yang mengkritiknya yang memunculkan ketidakpastian hukum. Karena itu, para pemohon menginginkan pasal-pasal itu dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat karena bertentangan dengan UUD Tahun 1945.    

Hanya saja, melalui Putusan MK No. 28/PUU-IV/2017 ini, MK menyatakan tidak menerima dan menolak pengujian Pasal 104, Pasal 106Pasal 107, Pasal 108, dan Pasal 110 KUHP yang dimohonkan warga Papua yakni Hans Wilson Wader, Meki Elosak, Jemi Yermias Kapanai alias Jimi Sembay. Mereka merupakan korban yang pernah dipidana dengan pasal-pasal makar. (Baca Juga: Delik Makar Kembali Dipersoalkan)

Dalam pertimbangan putusannya, Mahkamah menilai delik makar cukup disyaratkan adanya niat dan perbuatan permulaan pelaksanaan, sehingga dengan terpenuhinya syarat itu terhadap pelaku (makar) telah dapat dilakukan tindakan oleh penegak hukum. Cukup bagi aparat penegak hukum untuk melakukan tindakan hukum terhadap pelaku makar, tidak perlu adanya perbuatan yang nyata-nyata terdapat serangan (aanslag atau serangan nyata).

Tak hanya itu, tidak terdapat koherensi dan penalaran yang wajar bahwa norma pasal-pasal makar dalam KUHP bertentangan dengan hak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat dan harta benda yang berada di bawah kekuasaan seseorang, serta hak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan. Karena itu, pengaturan pasal-pasal a quo telah sejalan dan tidak bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD Tahun 1945.

Hanya saja, Mahkamah mengingatkan penegak hukum harus bertindak hati-hati dalam menerapkan pasal-pasal makar atau kejahatan terhadap negara ini agar tidak menjadi alat untuk membungkam kebebasan menyampaikan pendapat (berekspresi) dalam negara demokrasi. “Atas dasar seluruh pertimbangan ini, permohonan pemohon tidak beralasan menurut hukum.”

Tags:

Berita Terkait