Begini Nasib ‘Gugatan’ Perppu Covid-19 Setelah Disetujui DPR
Berita

Begini Nasib ‘Gugatan’ Perppu Covid-19 Setelah Disetujui DPR

Pengujian Perppu No. 1 Tahun 2020 kehilangan objek permohonan karena Perppu sudah disetujui DPR menjadi UU. Para pemohon bisa mengajukan permohonan baru setelah UU disahkan Presiden dan dimuat dalam lembaran negara serta diberi nomor.

Aida Mardatillah
Bacaan 2 Menit

 

Untuk diketahui, Kamis 14 Mei 2020, MK masih menggelar sidang pengujian Perppu No. 1 Tahun 2020 dengan agenda perbaikan permohonan dari tiga permohonan pengujian. Pertama, Perkara No. 23/PUU-XVIII/2020 diajukan oleh M. Sirajuddin Syamsuddin, Sri Edi Swasono, Amien Rais, dan 21 Pemohon lain dari berbagai latar belakang profesi. Kedua, Perkara No. 24/PUU-XVIII/2020 dimohonkan oleh Perkumpulan Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI), Yayasan Bintang Solo Indonesia 1997, dan 3 lembaga serta perkumpulan lain. Ketiga, Perkara No. 25/PUU-XVIII/2020 diajukan oleh Damai Hari Lubis yang berprofesi sebagai pengacara dan aktivis organisasi kemanusiaan.

 

Permohonan Perkara Nomor 23/PUU-XVIII/2020 yang diwakili oleh Ahmad Yani menilai Pasal 2 ayat (1) huruf a angka 1, angka 2, dan angka 3; Pasal 16, Pasal 23, Pasal 27, dan Pasal 28 Perppu Penanganan Covid-19 bertentangan dengan UUD 1945. Menurutnya, Perppu a quo tidak memenuhi parameter adanya “kegentingan yang memaksa” sebagaimana amanat Putusan MK Nomor 138/PUU-VII/2019.

 

Sementara dalam Perppu a quo, lebih banyak dibahas masalah keuangan dan anggaran negara berupa pemberian kewenangan bagi Pemerintah untuk menentukan batas defisit anggaran di atas 3 persen terhadap UU APBN hingga tahun 2022. Pengaturan demikian, kata Ahmad, bertentangan dengan karakter periodik UU APBN yang diatur dalam Pasal 23 ayat (1) UUD 1945 karena mengikat tiga periode sekaligus.

 

Para Pemohon juga melihat ketentuan norma a quo membuka peluang defisit anggaran di atas 3 persen Produk Domestik Bruto (PDB) tanpa menentukan batasan maksimalnya. Sehingga secara langsung, ketentuan ini membatasi daya ikat kewenangan DPR untuk memberikan persetujuan APBN. Padahal, ketentuan Pasal 23 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945 menyebut UU APBN harus mendapatkan persetujuan rakyat yang diwakili oleh DPR.

 

Pasal 27 ayat (1) Perppu Penanganan Covid-19 ini memungkinkan terjadinya potensi tindak pidana korupsi. Hal tersebut karena di dalam pasalnya disebutkan biaya yang dikeluarkan pemerintah selama penanganan pandemik, termasuk dalam bidang kebijakan perpajakan keuangan daerah dan pemulihan ekonomi nasional bukan merupakan kerugian negara.

 

Dengan demikian, menurutnya norma a quo memberi keistimewaan bagi pejabat tertentu untuk menjadi kebal hukum. Ketentuan ini menunjukkan pula Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang diberi amanat untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara tidak dapat melaksanakan tugasnya apabila merujuk ketentuan tersebut.

 

Salah satu Pemohon Perkara Nomor 24/PUU-XVIII/2020 Boyamin Bin Saiman mengutip Pasal 27 ayat (1) Perppu ini yang menyebutkan biaya yang telah dikeluarkan Pemerintah dalam rangka pelaksanaan kebijakan pendapatan negara bukan kerugian negara. Padahal sumber keuangan tersebut berasal dari keuangan negara. Hal ini memberi imunitas kepada aparat pemerintah untuk tidak bisa dituntut atau dikoreksi melalui lembaga pengadilan. “Pasal itu bertentangan dengan UUD 1945 yang menyatakan Indonesia adalah negara hukum.”

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait